prinsip
negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan jaman. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kompleksnya kehidupan masyarakat di era
global, menuntut pengembangan prinsip-prinsip negara hukum. Negara hukum ádalah
negara yang penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahannya didasarkan atas
hukum . karena itu pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam melaksananakan
tindakan harus dilandasi oleh hukum dan bertanggung jawab secara hukum.
Perkembangan negara hukum di era moderen ini
dipengaruhi oleh konsep Eropa Continental yang disebut “ Rechtstaat dan Anglo
Saxon yang disebut Rule Of Law “.
Di dalam negara
hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun
dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan
atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan
tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan.
Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut :
1)
Adanya
suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2)
Bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum
atau peraturan perundang-undangan.
3)
Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
4)
Adanya
pembagian kekuasaan dalam negara.
5)
Adanya
pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan
mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan
tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
6)
Adanya
peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut
serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah.
7)
Adanya
sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang
diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur
negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu,
keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri
Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai
konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua
lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila
kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen) di indonesia , kita akan menemukan
unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama,
prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan
konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16,
19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara
(pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Eksistensi
Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD
1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat)”.
Indikasi
bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah
untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termaktub dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;
“Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban
dunia”.
Tujuan-tujuan
ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap
dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Prinsip
pokok negara hukum menurut Jimly Asshiddiqie adalah sebagai berikut :
a.
Supremasi
Hukum (supremacy of law)
Adanya
pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif
supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi
negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan
hukum yang tertinggi. Pengakuan normative mengenai supremasi
hukum adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi,
sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku
sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’.
b.
Persamaan
dalam Hukum (equality before the law)
Adanya
persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan
yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’
guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang
sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan
perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk
pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing
atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang.
Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus
yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun
anak-anak terlantar.
c.
Asas
legalitas
Dalam
setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau
mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan
demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas
aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif
demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi
lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat
administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui
pula adanya prinsip ‘Freies Ermessen’ yang memungkinkan para pejabat
administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’
atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam
rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
d.
Pembatasan
kekuasaan
Adanya
pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara
horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki
kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan
oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts
absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and
balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan
mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical.
Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu
organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Idealitas
negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik
yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan
latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis
dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara
hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut
konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut
konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara
hukum Pancasila.
Menurut
Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada
unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1)
Keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan
2)
Hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
3)
Prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
ter-akhir;
4)
Keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan
penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Ada
hubungan yang erat antara agama dan negara;
2)
Bertumpu
pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
3)
Kebebasan
beragama dalam arti positip;
4)
Ateisme
tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
5)
Asas
kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun
antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena
terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang
hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek
perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan
oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya
unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.
Oleh:
RATU MAZAYA
NPM. 1471010064
Kelas B/ Semester V
UNIVERSITAS
PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS
HUKUM
NEGARA HUKUM INDONESIA
4/
5
Oleh
fuadi