Showing posts with label manajemen. Show all posts
Showing posts with label manajemen. Show all posts

Thursday, November 23, 2017

STRONG CULTURE: BUDAYA ORGANISASI BERORIENTASI GLOBAL

STRONG CULTURE: BUDAYA ORGANISASI BERORIENTASI GLOBAL


Abstract
Fast pace of dynamic globalization create the shifts to both external and internal condition in the organization. We have to create a concern about that shifts if the organization can't vastly adapt. Failure to adapt will cause the internal organization become unstable in which the result will be the not optimized performance. In order to overcome the external influence and global trends, organization can implement the organizational culture strategy. Organizational culture will lead the people inside to behave, act, and think better. By implementing this strategy, people in organization will have the same value, goals, and strategy which will guide them to stay strong against the shifts and to perform better.

Keyword : Strong Culture, Kinerja

penyusun
 Laksmi Ayu W.         1241010014
Prisca Wulandari      1241010026
Teresia Retno A.       1241010027 


A. PENDAHULUAN
            Pada era globalisasi yang berkem- bang pesat, dinamis, dan tidak pasti ini, menimbulkan terjadinya perubahan kondi- si ekstern maupun intern di dalam suatu organisasi. Menurut Wibowo (2010:1) faktor eksternal adalah segala sesuatu yang berada di luar organisasi dan budayanya, kecenderungan global yang semakin kompetitif berpengaruh kuat pada organi- sasi. Sedangkan faktor internal organisasi perlunya dukungan dari sumber daya dalam organisasi untuk mewujudukan kinerja yang optimal.
            Masalah yang patut diperhatikan dalam organisasi apabila organisasi tidak dapat beradaptasi pada pengaruh luar, kecenderungan global, akan berdampak pada kondisi intern organisasi yang tidak stabil dan mempengaruhi kinerja di dalam organisasi menjadi tidak optimal. Seperti hal nya yang terjadi pada kondisi di lingkungan pemerintahan, instansi-instansi pemerintahan di Indonesia yang tidak cepat tanggap dalam menghadapi perubahan dan pengaruh luar yang bersifat global, sehingga tidak menutup kemungkinan kinerja di dalam organisasi menjadi tidak optimal karena instansi pemerintah masih menggunakan sistem nilai , keyakinan, dan pedoman perilaku yang lama. Untuk mengatasi kecenderungan global yang semakin kompetitif, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi perubahan kondisi ekstern maupun intern. Organisasi membutuhkan strategi baru yang lebih sesuai dengan kondisi ekstern maupun intern organisasi saat ini (Widyaningsih, 2003).
            Menurut Usmara (2002) dalam kutipan Sutrisno (2010) suatu organisasi mampu menyusun strategi dan kebijakan yang ampuh untuk mengatasi setiap perubahan yang terjadi. Adanya berbagai pengaruh perubahan yang terjadi pada organisasi, menuntut organisasi untuk menyusun strategi yang selaras dengan perubahan lingkungan. Strategi untuk mengatasi masalah ini melalui Budaya Organisasi. Menurut Wibowo (2010:363) kinerja sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan eksternal internal maupun eksternal organisasi, maupun budaya organisasi.
            Budaya organisasi merupakan perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati, dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi  sebagai pedoman perilaku  dan pemecahan masalah-masalah organisasi (Sutrisno, 2010:2). Budaya organisasi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku anggotanya. Karena sistem nilai, pedoman perilaku, dan keyakinan dalam budaya organisasi dijadikan acuan terhadap perilaku anggota yang berorientasi pada hasil kinerja yang ditetapkan. Semakin diterapkannya budaya organisasi yang baik, maka akan semakin tertanam perilaku baik dan kebiasaan kerja yang optimal dalam kesehariannya. Untuk menanamkan nilai-nilai dan keyakinan yang dianut organisasi yaitu melalui strong culture atau budaya organisasi yang kuat.
            Budaya yang kuat atau strong culture merupakan budaya yang menanam- kan nilai-nilai, keyakinan dan diterima oleh seluruh anggota organisasinya, dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku para anggota. Semakin kuat budaya itu, semakin mendorong organisasi untuk dapat meningkatkan kinerjanya.
            Penerapan budaya organisasi yang kuat atau strong culture dimaksudkan agar seluruh perilaku individu atau anggota organisasi berpedoman pada nilai-nilai dan keyakinan yang dianut organisasi dan selaras dengan perubahan lingkungan yang terjadi, sehingga dapat mendorong kinerja anggota organisasi untuk lebih optimal. Berdasarkan alasan tersebut maka kajian ini membahas tentang penerapan strong culture dalam meningkatkan kinerja anggota organisasi di era globalisasi.
B. LANDASAN TEORI
1. Budaya Organisasi
            Menurut Wibowo (2010:15) buda- ya adalah suatu pola sumsi dasar yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena mempelajari dan menguasai masalah adaptasi eksternal dan  internal. Menurut Tika (2014:3) budaya adalah suatu sistem pembagian nilai dan kepercayaan yang berinteraksi dengan orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi, dan sistem kontrol yang menghasilkan norma perilaku.
            Budaya organisasi merupakan perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs), asumsi-asumsi (assumptions), atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati, dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi  sebagai pedoman perilaku  dan pemecahan masalah-masalah organisasi (Sutrisno, 2010:2). Budaya yang kuat dan positif sangat berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja organisasi sebagaimana dinyatakan oleh Sutrisno (2010:3) karena dengan adanya budaya yang kuat dapat berdampak positif bagi organisasi yang diantaranya adalah:
1.    Nilai-nilai kunci yang saling menjalin, tersosialisasikan, menginternalisasi, menjiwai pada para anggota, dan merupakan kekuatan yang tidak tampak;
2.    Perilaku-perilaku karyawan secara tidak disadari terkendali dan terkoordinasi oleh kekuatan yang informal atau tidak tampak;
3.    Para anggota merasa komit dan loyal pada organisasi;
4.    Adanya musyawarah dan kebersamaan atau kesertaan dalam hal-hal yang berarti sebagai bentuk partisipasi, pengakuan, dan penghormatan terhadap karyawan;
5.    Semua kegiatan berorientasi atau diarahkan kepada misi atau tujuan organisasi;
6.    Para karyawan merasa senang, karena diakui dan dihargai martabat dan kontribusnya, yang sangat rewarding,
7.    Adanya koordinasi, integrasi, dan konsistensi yang menstabilkan kegiatan-kegiatan perusahaan;
8.    Berpengaruh kuat terhadap organisasi dalam tiga aspek: pengarahan perilaku dan kinerja organisasi, penyebarannya pada para anggota organisasi, dan kekuatannya, yaitu menekan para anggota untuk melaksanakan nilai-nilai budaya;
9.    Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.
            Edgar H. Schein yang dikutip oleh Tika (2014:3) mendefinisikan budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahi, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-masalah tersebut.
            Budaya organisasi menurut Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, yang dikutip oleh Tika (2014:4), adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemuadian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas. Menurut Tika (2014:5) di dalam budaya organisasi terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi sebagai berikut:
1.      Asumsi dasar
Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
2.      Keyakinan yang dianut
Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksa- nakan oleh para anggota organisasi. keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi/perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelas- kan usaha.
3.      Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi.
Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangan oleh pemimpin organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau perusa- haan tersebut.
4.      Pedoman mengatasi masalah
Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah intergrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.
5.      Berbagai nilai (sharing of value)
Dalam budaya organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
6.      Pewarisan (learning process)
Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperi- laku dalam organisasi/ perusahaan tersebut.
7.      Penyesuaian (adaptasi)
Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/perusahaan terhadap peru- bahan lingkungan.
            Karakterisitik kunci dari budaya menurut Michael Zwell dikutip oleh Wibowo (2010:35) adalah: (a) budaya dipelajari, (b) norma dan adat istiadat adalah umum di seluruh budaya, (c) budaya kebanyakan bekerja secara tanpa sadar, (d) sifat dan karakteristik budaya dikontrol melalui banyak mekanisme dan proses sosial, (e) elemen budaya diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, (f) menyesuaikan adat istiadat dan pola perilaku yang dapat diterima cenderung menjadi berhubungan dengan kebajikan moral dan superioritas, dan (g) seperti kebiasaan lainnya, perilaku budaya adalah nyaman dan dikenal umum.
            Menurut Jerald Greenberg dan Robert A. Baron (2003:518) fungsi dari budaya organisasi adalah:
1.      Budaya memberikan rasa identitas
Semakin jelas persepsi dan nilai-nilai bersama organisasi didefinisikan, semakin kuat orang dapat disatukan dengan misi organisasi menjadi bagian penting darinya.
2.      Budaya membangkitkan komitmen pada misi organisasi
Kadang-kadang sulit bagi orang untuk berpikir di luar kepentingannya sendiri, seberapa besar akan memengaruhi dirinya. Tetapi apabila terdapat strong culture, orang merasa bahwa mereka menjadi bagian dari yang bear, dan terlibat dalam kese- luruhan kerja organisasi. Dari setiap kepentingan individu, budaya mengingatkan orang tentang apa makna sebenarnya organisasi itu.
3.      Budaya memperjelas dan memperkuat standar perilaku
Budaya membimbing kata dan perbuatan pekerja, membuat jelas apa yang harus dilakukan dan kata-kata dalam situasi tertentu, terutama bagi pendatang baru. Budaya mengu- sahakan stabilitas bagi perilaku, keduanya dengan harapan apa yang harus dilakukan pada waktu yang berbeda dan juga apa yang ahrus dilakukan individu yang berbeda di saat yang sama. Suatu perusahaan dengan budaya sangat kuat mendu- kung kepuasan pelanggan. Pekerja mempunyai pedoman tentang bagai- mana harus berperilaku.
Menurut Wibowo (2010:52) bahwa fungsi budaya organisasi adalah: (1) menun- jukkan identitas, (2) menunjukkan batasan peran yang jelas, (3) menunjukkan komitmen kolektif, (4) membangun stabilitas sistem sosial, (5) membangun pikiran sehat dan masuk akal, dan (6) memperjelas standar perilaku.
Untuk menanamkan perilaku, nilai-nilai, dan keyakinan pada setiap anggotanya, organisasi harus mempunyai budaya yang kuat (strong culture). Menurut Deal dan Kennedy (1982) dalam kutipan Tika (2014:110) terdapat beberapa ciri-ciri organisasi yang kuat (strong culture), yaitu:
1.    Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik.
2.    Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam organisasi digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh orang-orang di dalam organisasi sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif.
3.    Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam organisasi.
2. Kinerja: Definisi & Dimensi
            Menurut Sutrisno (2010:170) pada umumnya, kinerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksana- kan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler dan Porter (1967) dalam Sutrisno (2010:170) yang menyatakan bahwa kinerja adalah kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugas. Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang di dalam organisasi, sesuai dengan nilai-nilai, dan pedoman perilaku organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
            Kinerja adalah hasil seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran kriteria yang telah disepakati bersama (Rivai dan Basri, 2009). menurut Hariandja (2002:195) kinerja adalah hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan perannya dalam organisasi. Miner (1990) dalam kutipan Sutrisno (2010:170) kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperi- laku sesuai dengan tugas yang telah dibebankan kepadanya. Irianto (2001) dalam Sutrisno (2010:171) mengemukakan bahwa kinerja anggota organisasi adalah prestasi yang diperoleh seseorang dalam melakukan tugas. Keberhasilan organisasi tergantung pada kinerja anggota organisasi bersang- kutan.
            Kinerja karyawan menurut Wirawan (Widodo,2011) secara umum dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1) hasil kerja, 2) perilaku kerja, 3) sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan. Hasil kerja karyawan dapat meningkat apabila terdapat sistem, nilai-nilai, dan norma yang berlaku di dalam organisasi.
            Menurut Tika (2014:121) terdapat empat dimensi atau unsur yang terdapat dalam kinerja terdiri dari:
1.    Hasil-hasil fungsi pekerjaan
2.    Pencapaian tujuan organisasi
3.    Periode waktu terentu
4.    Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap prestasi anggota seperti: motivasi, kecakapan, persepsi peranan, dan sebagainya.
            Berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan untuk meningkatkan kinerja di dalam organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berorientasi pada pencapaian tujuan organisasi. Kinerja meningkat jika hasil kerja anggota organisasi sesuai dengan sistem nilai, keyakinan yang dianut organisasi.
C. PEMBAHASAN
            Kinerja anggota sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi menyelaraskan anggota-anggotanya berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan budaya- nya yang didasarkan pada kondisi intern maupun ekstern organisasi. Nilai-nilai dan keyakinan dasar dalam budaya organisasi, disebarkan kepada para anggota organisa- sinya untuk membentuk perilaku yang baik. Semakin diterap-kannya budaya organisasi yang baik, maka akan akan semakin tertanam perilaku baik dan kebiasaan kerja yang optimal dalam kesehariannya.
            Pada penerapannya di dalam buda- ya organisasi perlunya menanam perilaku baik dan sesuai dengan nilai-nilai, dan keyakinan yang dianut organisasi. Budaya bukan hanya perilaku di permukaan, tetapi sangat dalam ditanamkan dalam diri kita masing-masing (David C. Thomas dan Kerr Inkson, 2004:22).
            Untuk menanamkan nilai-nilai dan keyakinan yang dianut oleh organisasi, budaya organisasi menjadi perekat sosial dalam mendekatkan anggotanya untuk sampai pada pemahaman nilai-nilai dan berperilaku yang baik sesuai dengan sasaran dan tujuan organisasi. Menurut Krietner dan Kinicki (Ancok, 2012) budaya organisasi merupakan pemersatu organisasi dan mengikat anggota organi- sasi melalui nilai-nilai yang diyakini, serta symbol yang mengandung cita-cita sosial bersama yang ingin dicapai. Organisasi sebagai perekat sosial bagi para anggo- tanya dalam menanamkan budaya organisasi yang baik melalui strong culture.
            Budaya yang kuat atau strong culture merupakan budaya yang mena- namkan nilai-nilai utama dan diterima oleh seluruh anggota organisasinya, dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku para anggota. Semakin kuat budaya itu, semakin mendorong organisasi untuk dapat meningkatkan kinerjanya.
            Jika ditinjau lebih mendalam lagi terdapat langkah - langkah untuk memper- kuat budaya organisasi atau strong culture. Menurut Tika (111:2014) langkah-langkah organisasi untuk memperkuat budaya organisasi, adalah:
1.    Memantapkan nilai-nilai dasar budaya organisasi
            Nilai-nilai dasar budaya organisasi dapat diterjemahkan sebagai asumsi dasar, moto organisasi, misi dan tujuan umum organisasi. Organisasi perlu memantapkan nilai-nilai dasar tersebut agar dapat dipakai sebagai pedoman berperilaku bagi ang- gota. Dalam nilai-nilai budaya perlu dijelaskan apa yang merupakan perintah /anjuran dan apa yang merupakan lara- ngan, kegiatan apa yang bisa mendapatkan penghargaan, dan kegiatan apa yang memperoleh hukuman, dan sebagainya. Menurut Ndraha (2005:29) nilai adalah pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik, dan apa yang lebih benar atau kurang benar. Sehingga nilai sesuatu yang diyakini oleh anggota organisasi untuk mengetahui mana yang benar mana yang salah. Suatu nilai dapat dipahami apabila dikaitkan dengan sikap dan tingkah lakunya anggota organisasi, hal ini dapat dilihat dari model metodologis nilai menurut Soebijanta dalam kutipan Ndraha (2005:30).
    Nilai          Sikap        Tingkah laku
 (Model metodologis nilai menurut Soebijanta)
            Nilai mempunyai pengaruh terha- dap sikap anggota organisasi. Dengan adanya sikap yang didasarkan pada nilai-nilai organisasi, maka akan tercemin dalam tingkah laku anggota. Nilai-nilai perlu ditanamkan pada setiap individu organi- sasi, untuk mengubah tingkah laku atau perilakunya. Untuk memantapkan nilai-nilai individu organisasi dengan cara transmisi nilai. Transmisi nilai menurut Ndraha (2005:35) merupakan “barang-jadi”, atau kebutuhan yang dikemas di dalam, dan diantar ke suatu alamat, untuk ditanamkan di dalam diri manusia, melalui cara, alat, atau vehicle. Alat, atau vehicle tersebut yaitu encoder dan decoder komunikasi. Encoder komunikasi meru- pakan dimana seseorang atau kelompok mengirim pesan kepada orang lain. Pada proses encoding bisa dilakukan secara verbal yaitu melalui bahasa, maupun non verbal melalui ekspresi wajah, gesture, dan sebagainya. Setelah itu decoder menerima pesan tersebut dan diterjemahkannya pesan - pesan itu menjadi bermakna. Berdasarkan penjelasan di atas, untuk memantapkan nilai suatu organisasi yaitu melalui trans- misi nilai. Organisasi menanamkan nilai kepada anggotanya secara verbal yaitu bahasa, maupun non verbal yaitu melalui ekspresi wajah, gesture, dan sebagainya. Dengan dilakukannya komunikasi yang baik maka pemahaman nilai organisasi akan lebih tertanam dalam anggota-anggota organisasi. Contohnya di dalam lingkungan kerja dimana peran atasan dalam memantapkan nilai-nilai meng- gunakan bahasa yang baik, dan jelas agar anggotanya memahaminya, dan non verbal petinggi harus berekspresi serius dan tegas sehingga anggota organisasinya juga akan menanggapinya dengan serius untuk mengetahui dan memahami di dalam organisasi mana yang penting dan tidak penting, mana yang benar dan mana yang salah.
2.    Melakukan pembinaan terhadap anggota organisasi
Setelah nilai-nilai dasar budaya organisasi dimantapkan, kegiatan selan- jutnya melakukan pembinaan terhadap seluruh anggota organisasi. Arah pembinaan adalah nilai-nilai dasar yang menjadi budaya organisasi dapat dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh anggota-anggota organisasi khususnya anggota-anggota baru. Pembinaan terhadap anggota dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu bimbingan dan pelatihan. Bimbingan dapat dilakukan oleh organisasi terhadap anggotanya, dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk menge- nai pelaksanaan nilai-nilai dasar budaya organisasi, seperti cara berperilaku, cara-cara bekerja yang baik, apa saja yang menjadi dasar penilaian, dan sebagainya sesuai dengan aturan yang dianut organisasi. Dalam pemerintahan, suatu instansi memberikan bimbingan  bagi pegawai baru untuk memberikan petunjuk mengenai pelaksanaan kerja yang berlaku dalam intasnsi tersebut. Di samping bimbingan, pembinaan kepada anggota dalam rangka memperkuat budaya organisasi dapat dilakukan melalui pelatihan (training). Organisasi perlu membuat jenjang-jenjang pela- tihan kepada anggota organisasi khususnya anggota baru. Pelakasanaan pelatihan sangat membantu organisasi untuk menanamkan dan memperkuat budaya organisasi.
3.    Memberikan contoh atau teladan
Memberikan contoh atau teladan yang ditunjukkan seorang pimpinan dalam berperilaku merupakan pedoman nyata yang cepat diikuti dan ditiru oleh anggota organisasi dalam berperilaku. Organisasi perlu memberikan ketela- danan dan kejujuran dalam berperilaku dengan berpedoman pada nilai-nilai budaya yang telah ditetapkan. hal ini memberikan pengaruh yang cepat dalam menanamkan budaya organisasi kepada anggotanya. Contohnya, seorang atasan yang baik dalam organisasi maka akan menjadi teladan bagi anggota organisasinya untuk bersikap baik pula dalam menjalankan atau melaksanakan tugas organisasi
4.    Membuat acara-acara rutinitas
Salah satu kegiatan untuk menanamkan dan memperkuat budaya organisasi adalah organisasi perlu membuat acara rutinitas. Berbagai acara antara lain rapat-rapat rutin, rekreasi, dan sebagainya. Acara-acara rutinitas ini dapat memberikan motivasi kepada anggota-anggota organisasi dengan keyakinan bahwa dia adalah bagian dari keluarga besar organisasi. Acara rutini- tas secara tidak langsung merupakan perekat bagi anggota-anggota organisasi dalam menanamkan dan memperkuat budaya organisasi.
5.    Memberikan penilaian dan penghargaan
Penilaian dan penghargaan secara berkala perlu dilakukan oleh organsiasi kepada para anggota-anggotanya. Bagi anggota-anggota organisasi yang ber- prestasi dalam penanaman nilai-nilai budaya organisasi perlu diberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat, gaji, gelar, dan hadiah-hadiah lainnya.
6.    Tanggap terhadap masalah eksternal dan internal
Masalah-masalah eksternal yang ba- nyak berpengaruh terhadap budaya organisasi adalah persaingan, pengaruh perubahan global dunia, dan lain sebagainya. Masalah-masalah internal yang banyak berpengaruh terhadap budaya organisasi antara lain, ketidak stabilan kondisi intern karena perubahan global yang terjadi. Masalah tersebut perlu diantisipasi dan ditang- gapi dengan cepat melalui budaya organisasi yang kuat.
7.    Koordinasi dan kontrol
Perkuatan budaya organisasi dapat dilakukan melalui koordinasi dan kontrol. Koordinasi dapat dilakukan melalui rapat-rapat resmi, koordinasi antar pejabat secara berjenjang, dan sebagainya. Demikian pula untuk mengetahui perilaku anggotanya perlu dilakukan pengontrolan/pengawasan secara berkala. Hasil pengawasan dapat dijadikan sebagai umpan balik untuk memperkuat budaya organisasi.
            Oleh sebab itu, budaya organisasi sangat berpengaruh pada perilaku para anggota-anggota organisasi karena sistem nilai, pedoman perilaku, dan keyakinan dijadikan acuan perilaku sumber daya manusia yang berorientasi pada penca- paian tujuan atau hasil kinerja yang optimal. Dengan demikian secara langsung atau tidak langsung budaya organisasi berpengaruh pada kinerja sumber daya manusia.

D. KESIMPULAN
            Di era globalisasi, untuk mengatasi perubahan kondisi ekstern dan intern yang terjadi diperlukan strategi untuk mengatasi perubahan tersebut, yaitu dengan mene- rapkan budaya organisasi. Budaya organisasi menjadi kebutuhan mutlak, karena budaya organisasi merujuk pada landasan sistem nilai, pedoman perilaku, keyakinan, yang ditujukan kepada anggota untuk menuntun mereka menjadi sumber daya manusia yang optimal yang sesuai dengan sasaran dan tujuan organisasi. Untuk menuntun dan mengarahkan anggotanya guna meningkatkan kinerja, organisasi perlu menanamkan budaya organisasi yang kuat atau strong culture. Strong culture menanamkan nilai-nilai utama dan diterima oleh seluruh anggota organisasinya, dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku para anggota, karena dengan strong culture maka anggota organisasi akan menjadi lebih terarah dalam pencapaian sasaran organisasi. Semakin kuat budaya itu, semakin mendorong anggota organisasi untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Oleh sebab itu, budaya organisasi sangat berpengaruh pada perilaku para anggota-anggota organisasi dan dijadikan acuan perilaku sumber daya manusia yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau hasil kinerja yang optimal. Dengan demikian secara langsung atau tidak langsung budaya organisasi berpengaruh pada kinerja sumber daya manusia.



Daftar Pustaka
Handayani, Agustin. 2012. Peranan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan. Fakultas       Psikologi Unissula Semarang.

Ndraha, Taliziduhu.2005.  Teori Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta

Purbasari, Niken. 2013. Intergrasi Internal dan Adaptasi Eksternal bagi Keberlangsungan Organisasi dengan Pendekatan Budaya. STIE Trisakti.

Soedjono. 2005. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Organisasi dan Kepuasan            Kerja Karyawan Terminal Penumpang Umum di Surabaya. STIESIA Surabaya

Sutrisno, Edy.2010. Budaya Organisasi. Jakarta: Kencana

Tika, Moh. Pabundu. 2014. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta:
            Bumi Aksara

Wibowo. 2010. Budaya Organisasi Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja Jangka
            Panjang. Jakarta: Rajawali Pers



Sunday, April 16, 2017

TUJUAN KELOMPOK DAN SOSIAL INTERDEPENDENSI

TUJUAN KELOMPOK DAN SOSIAL INTERDEPENDENSI

Tugas Mata Kuliah
DINAMIKA KELOMPOK :
“ TUJUAN KELOMPOK DAN SOSIAL INTERDEPENDENSI ”

















Disusun Oleh :
Kelompok 4
Aisyah Humairoh 09.640.001
Fitria Kusuma 09.640.003
Naila Karimah 09.640.008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini banyak sekali sekumpulan manusia yang membentuk sebuah komunitas / kelmpok yang semakin menjamur di Indonesia. Mulai dari yang Nasionalis hingga Agamis.
Makalah ini menawarkan seluk – beluk Kelompok beserta Tujuan Kelompok. Dan bagaimana kelompok tersebut berinteraksi dan ketergantungan satu sama lain.

1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk memgetahui komponen dari kelompok yaitu tujuan kelompok beserta penunjuang keberhasilan kelompok.

1.3 Rumusan Masalah
Permasalahan yang di bahas dalam makalah ini meliputi tujuan kelompok dan sosial interdependensi yang menyentuh beberapa aspek kehidupan.

1.4 Sumber Data
Sumber data  pembuatan makalah ini diperoleh dari studi literatur, yakni buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang terkait dan eksplorasi informasi melalui internet.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Tujuan Kelompok
Setiap kelompok, apapun bentuknya tetap memiliki tujuan yang hendak dicapai dari aktivitas kelompok tersebut
Johnson and Johnson mengartikan tujuan kelompok sendiri sebagai suatu keadaan di masa mendatang yng di inginkan oleh anggota-anggota kelompok dan oleh karena itu mereka melakukan berbagai tugas kelompok dalam rangka mencapai keadaan tersebut.
Tujuan kelompok biasanya dirumuskan sebagai perpaduan dari tujuan-tujuan individual dan tujuan-tujuan semua anggota kelompok (Carolina Nitimiharjo & Jusman Iskandar, 1993 : 43)
Menurut Winkel & Sri Hastuti (2004 : 547) tujuan kelompok adalah menunjang perkembangan pribadi dan perkembangan sosial masing-masing anggota kelompok serta meningkatkan mutu kerja sama dalam kelompok guna aneka tujuan yang bermakna bagi para partisipan. Tujuan kelompok dapat diartikan sebagai gambaran yang diharapkan anggota yang akan dicapai oleh kelompok. Tujuan kelompok harus jelas dan diketahui oleh seluruh anggota. Untuk mencapai tujuan kelompok tersebut diperlukan aktivitas bersama oleh para anggota. Hubungan antara tujuan kelompok dengan tujuan anggota bisa :
a) sepenuhnya bertentangan,
b) sebagian bertentangan,
c) netral,
d) searah dan
e) identik.
Dengan demikian bentuk hubungan a tidak menguntungkan dan bentuk d adalah yang paling baik. Tujuan kelompok dirumuskan sebagai perpaduan dari tujuan individual dan tujuan semua anggota kelompok.

2.2 Operational Goal (perencanaan/penetapan)
Dua cara penentapan tujuan kelompok :
1. Dalam pertemuan kelompok, pemimpin kelompok menyampaikan pandangannya tentang tujuan kelompok, kemudian setiap anggota menyampaikan tujuan pribadinya (alasan anggota bergabung ke dalam kelompok). Selanjutnya didiskusikan bersama kelompok, dan memutuskan tujuan kelompok.
2. Pemimpin kelompok mewawancarai setiap anggota kelompok -untuk mengetahui tujuan pribadinyadan menyampaikan pandangannya tentang tujuan kelompok, sebelum pertemuan kelompokyang pertama.Hasil wawancara disampaikan dalam pertemuan kelompok dan didiskusikan untuk menetapkan tujuan kelompok

Operasional goals adalah tujuan dimana mempunyai tahap spesifik prestasi atau keberhasilan dan teridentifikasi. Sedangkan yang sangat abstrak dan ambigu atau membingunkan disebut non-operasional goals.
Sebagai contoh Operasional Goals adalah “Tiga nama kualitas dari member yang bagus”, Maksudnya adalah tujuan dimana anda mendata tiga item dan mereka masuk ke dalam membership maka anda akan tahu tujuan yang telah dicapai.
Dan contoh non-Operasional Goals adalah “Membuat konklusi tentang teori dan empiris dalam menemukan kualitas efectifitas aksi oleh group member” ialah non-Operasional yang mungkin sulit untuk dijelaskan ketikan sebuah tujuan tercapai.

2.3 Peranan Rencana and Tujuan dalam menguntungkan organisasi:
1. Legitimasi, misi sebuah organisasi menggambarkan apa yang dilakukannya dan alasan keberadaan organisasi tersebut. Misi membantu investor, pelanggan, pemasok, dan masyarakat lokal memandang perusahaan secara positif, dan karena itu, menerima keberadaan perusahaan.
2. Sumber motivasi dan komitmen. Tujuan dan rencana memfasilitasi identifikasi karyawan dengan organisasi dan membantu memotivasi mereka dengan mengurangi ketidakpastian serta mengklarifikasi apa yang harus mereka capai.
3. Panduan untuk tindakan. Tujuan dan rencana memberikan arah, keduanya memfokuskan perhatian pada target tertentu dan mengarahkan usaha karyawan menuju hasil yang berguna.
4. Pengambilan keputusan yang rasional. Melalui penentuan tujuan dan perencanaan para manajer belajar tentang apa yang hendak dicapai organisasi.
5. Standar kinerja. Karena tujuan menjelaskan hasil yang diharapkan organisasi, maka tujuan berfungsi sebagai kriteria kinerja.
Adapun Perbandingan Rencana dan Tujuan :
a. Pernyataan Misi
Pernyataan misi merupakan penjelasan yang dinyatakan secara umum tentang skala usaha dan operasi yang membedakan organisasi dengan organisasi yang lain di bidang yang sama. Isi misi tersebut berfokus pada pasar dan pelanggan serta mengidentifikasikan usaha di bidang yang diinginkan.
b. Rencana/tujuan strategis
Kemana arah organisasi ingin melangkah di masa depan disebut tujuan strategis. Hal ini mengarah ke organisasi secara menyeluruh dan bukan menunjuk pada divisi atau departemen tertentu.
Rencana strategis mendefinisikan langkah-langkah nyata yang diambil perusahaan untuk mencapai tujuan. Rencana strategis menggambarkan kegiatan organisasional dan alokasi sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi target ini.
c. Rencana/tujuan taktis
Hasil yang ingin dicapai oleh divisi dan departemen utama dalam organisasi disebut sebagai tujuan taktis.
Rencana taktis dibuat untuk membantu pelaksanaan rencana strategis utama dan mencapai bagian tertentu dari strategi organisasi. Rencana taktis cenderung memiliki jangka waktu lebih pendek daripada rencana strategis.
d. Rencana/tujuan operasional
Hasil spesifik yang diharapkan dari departemen, kelompok kerja, dan individu disebut sebagai tujuan operasional. Tujuan ini bersifat terukur dan akurat.
Rencana opersional merupakan alat manajer departemen dalam kegiatan operasional harian dan mingguan. Tujuan dinyatakan dengan angka, dan rencana departemen menggambarkan bagaimana tujuan dapat dicapai.

2.4 Sasaran Kelompok
Yang menjadi sasaran kelompok dalam mensukseskan tujuan kelompok ada beberapa aspek agar tujuan tersebut efektif terlaksana, Antara lain
1. Tujuan tersebut mempunyai makna bagi anggota kelompok, relevan, realistic, dapat diterima dan dapat dicapai
2. Tujuan dapat didefinisikan secara operasional, dapat diukur dan dapat diamati
3. Anggota kelompok mempunyai orientasi terhadap tujuan yang telah ditetapkan
4. Adanya keseimbangan tugas  tugas dan aktivitas  aktifitas dalam mencapai tujuan kelompok dan individu
5. Terjadinya konflik yang berkaitan dengan tujuan dan tugas – tugas kelompok dapat diselesaikan dengan baik
6. Tujuan tersebut bersifat menarik dan menentang serta mempunyai resiko kegagalan yang kecil dalam mencapainya
7. Tercapainya tingkat koordinasi di antara anggota – anggota
8. Tersedianya sumber – sumber yang diperlukan untuk melaksanakan tugas – tugas dan tujuan kelompok
9. Adanya kemudahan untuk menjelaskan dan mengubah tujuan kelompok
10. Berapa lama waktu yang diperlukan oleh suatu kelompok untuk mencapai tujuan kelompok (Carolina Nitimiharjo & Jusman Iskandar, 1993 : 43 - 44)

2.5 Sejarah Sosial Interdependensi
a. Kurt Koffka
Akar historis teori interdependensi sosial dapat ditelusuri ke pergeseran dalam fisika dari mekanistik untuk teori medan (Deutsch, 1968; Deutsch & Krauss, 1965). Pergeseran ini dipengaruhi bidang psikologi, khususnya sekolah yang muncul dari Gestalt Psikologi di Universitas Berlin pada awal 1900-an. Sebagai lapangan menjadi unit analisa dalam fisika, seluruh (atau gestalt) menjadi fokus dari studi tentang persepsi dan perilaku bagi psikolog Gestalt. Gestalt mengemukakan bahwa manusia terutama terkait dengan pengembangan pandangan terorganisir dan berarti dalam dunia mereka dengan mengamati peristiwa sebagai keseluruhan yang terpadu daripada penjumlahan bagian atau properti. Persepsi terjadi di lapangan dan diatur menjadi elemen-elemen saling tergantung yang membentuk sebuah sistem. Dalam bidang psikologis, negara-negara tertentu lebih sederhana dan lebih tertib dari yang lain, dan proses psikologis bertindak untuk membuat keadaan lapangan sebagus kondisi yang berlaku memungkinkan (Deutsch & Krauss). Dengan demikian, keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Salah satu pendiri dari sekolah Gestalt psikologi, Kurt Koffka (1935), mengusulkan bahwa, mirip dengan bidang psikologis, kelompok keutuhan dinamis di mana saling ketergantungan di antara anggota bisa bervariasi.
b. Kurt Lewin
Membangun prinsip-prinsip psikologi Gestalt dan gagasan Koffka's, Kurt Lewin (1935, 1948) mengusulkan bahwa esensi suatu kelompok adalah saling ketergantungan antara anggota, yang menghasilkan kelompok menjadi keseluruhan yang dinamis sehingga perubahan di negara bagian setiap anggota atau subkelompok perubahan negara dari anggota lain atau subkelompok. Anggota grup dibuat saling bergantung melalui tujuan bersama. Untuk saling ketergantungan ada, harus ada lebih dari satu orang atau badan yang terlibat dan orang-orang atau badan harus dampak satu sama lain, bahwa perubahan di negara satu menyebabkan perubahan di negara bagian yang lain. Dampak ini terjadi dalam situasi yang mendesak, karena perilaku setiap orang ditentukan oleh bagaimana situasi yang dirasakan, bukan oleh faktor-faktor obyektif atau sejarah (misalnya, prinsip contemporaneity). Prinsip contemporaneity menyatakan bahwa satu-satunya penentu perilaku pada saat tertentu adalah sifat orang dan lingkungan psikologis orang tersebut pada waktu itu.. Dengan demikian, perilaku sosial secara inheren konteks dan tidak dapat dipahami di luar ruang hidup saat ini untuk yang dikalibrasi. tindakan Individu 'ditentukan oleh perwakilan mereka dari dunia mereka menganggap mereka bersaing dengan sebagai perilaku mereka terungkap. ruang hidup seseorang adalah dinamis (tidak statis), sehingga, sebagai individu berinteraksi dan peristiwa terjadi, persepsi masing-masing individu dari perubahan situasi. Dalam ruang hidup, perilaku masyarakat yang didorong oleh negara-negara dari ketegangan yang timbul karena mereka melihat tujuan yang diinginkan. Ini adalah ketegangan yang memotivasi gerakan menuju pencapaian tujuan.. Persepsi tujuan bersama dalam hubungannya dengan motivasi bersama untuk mencapainya adalah sumber dari saling ketergantungan antara anggota kelompok.
c. Deutsch
Deutsch (1949a, 1962) memperpanjang teori Lewin dengan meneliti bagaimana sistem ketergantungan orang-orang yang berbeda dapat saling berhubungan. Ia dikonsep dua jenis saling ketergantungan sosial - positif dan negatif saling ketergantungan positif ada ketika ada korelasi positif antara pencapaian tujuan individu,  individu merasa bahwa mereka dapat mencapai tujuan mereka jika, dan hanya jika, individu-individu lain dengan siapa mereka kooperatif terkait mencapai tujuan mereka. Negatif ada ketika ada korelasi negatif antara pencapaian tujuan individu.
2.6 Definisi Sosial Interdependensi
Sosial Interdependensi sendiri jika diartikan adalah saling ketergantungan dimana individu memiliki sasaran yang sama dan hasil masing – masing individu dipengaruhi oleh tindakan lain. Dapat pula dijelaskan sebagai proses bagaimana individuberinteraksi satu sama lain dengan mendapatkan hasil.
Tabel Teori Sosial Interdependensi
Proses Kooperatif Kompetitif Individualistik
Ketergantungan Positif Negatif Tidak ada
Hubungan Interaksi Promotif Opposisional Tidak ada
Hasil 1 Tinggi kemungkina berprestasi Rendah kemungkinan berprestasi Rendah kemungkinan berprestasi
Hasil 2 Relasi Positif Relasi negative Tidak ada relationship
Hasil 3 Kesehatan Psikologi Penyakit  Psikologi Patologi Psikologi


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Tujuan kelompok dirumuskan sebagai perpaduan dari tujuan individual dan tujuan semua anggota kelompok.
2. Terdapat dua cara dalam menetapkan/merencanakan tujuan kelompok :
1. Dalam pertemuan kelompok, pemimpin kelompok menyampaikan pandangannya tentang tujuan kelompok, kemudian setiap anggota menyampaikan tujuan pribadinya (alasan anggota bergabung ke dalam kelompok). Selanjutnya didiskusikan bersama kelompok, dan memutuskan tujuan kelompok.
2. Pemimpin kelompok mewawancarai setiap anggota kelompok -untuk mengetahui tujuan pribadinyadan menyampaikan pandangannya tentang tujuan kelompok, sebelum pertemuan kelompokyang pertama.Hasil wawancara disampaikan dalam pertemuan kelompok dan didiskusikan untuk menetapkan tujuan kelompok
3. Beberpa aspek penujang keberhasiln tujuan kelompok antara lain mempunyai makna bagi anggota kelompok, relevan, realistic, dapat dipahami dan dapat dicapai. Adapun aspek itu dapat di definisikan secara operasional, dapat diukur dan dapat dipahami, dst
4. Sosial Interdependensi di prakarsai oleh pakar psikologi gestalt, Kurt Koffka dan Kurt Lewin. Serta Morton Deutsch.
5. Sosial Interdependensi sendiri adalah saling ketergantungan dimana individu memiliki sasaran yang sama dan hasil masing – masing individu dipengaruhi oleh tindakan lain.
6. Teori Sosial Interdependensi dibagi menjadi tiga, Yaitu : Kooperatif, Kompetitif dan Individualistik.

Daftar Pustaka

http://belajarpsikologi.com/tujuan-bimbingan-kelompok
http://andinia-psikelompok.blogspot.com/2010/11/tujuan-kelompok.html
http://andinia-psikelompok.blogspot.com/2010/11/penetapan-tujuan-kelompok.html
http://andinia-psikelompok.blogspot.com/2010/11/definisi-tujuan.html
http://ojimori.com/peranan-plans-and-goals-dalam-organisasi.html