Kawasan perbatasan Indonesia terdiri dari perbatasan darat yang berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini (PNG), dan Timor Leste serta perbatasan laut yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG).
Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas
masing-masing, dengan potensi yang berbeda antara satu kawasan dan kawasan
lainnya. Potensi yang dimiliki oleh kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis
cukup besar adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta
perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan sekitar kawasan
perbatasan. Sebagian besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum
dikelola, dan sebagian lagi merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung
yang memiliki nilai sebagai world heritage yang perlu dijaga dan
dilindungi.
2.1. Kawasan Perbatasan Darat
Kawasan perbatasan
darat Indonesia berada di 3 (tiga) pulau, yaitu Pulau Kalimantan, Papua, dan
Pulau Timor, serta tersebar di 4 (empat) provinsi, yaitu Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Papua, dan NTT. Setiap
kawasan perbatasan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. Kawasan
perbatasan di Kalimantan berbatasan dengan Negara Malaysia yang masyarakatnya lebih
sejahtera. Kawasan perbatasan di Papua masyarakatnya relatif setara dengan
masyarakat PNG, sementara dengan Timor Leste kawasan perbatasan Indonesia masih
relatif lebih baik dari segi infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
2.1.1. Kawasan Perbatasan Darat di Kalimantan
Pulau Kalimantan memiliki kawasan perbatasan
dengan Malaysia di 8 (delapan) kabupaten yang berada di wilayah Kalimantan
Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan
wilayah Sarawak sepanjang 847,3 yang melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan di 5
kabupaten, yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Kabupaten
Bengkayang. Wilayah Kalimantan Timur berbatasan langsung dengan wilayah Sabah
sepanjang 1.035 kilometer yang melintasi
256 desa dalam 9 kecamatan dan 3 kabupaten yaitu di Nunukan, Kutai Barat, dan Kabupaten
Malinau.
Dari kelima kabupaten di Kalimantan Barat dan
tiga kabupaten di Kalimantan Timur, hanya terdapat 3 (tiga) pintu perbatasan (border gate) resmi, yaitu di Kabupaten
Sanggau dan Kabupaten Bengkayang di
Kalimantan Barat, serta Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur. Kabupaten
Sanggau dan Nunukan memiliki fasilitas Custom,
Imigration, Quarantine, and Security (CIQS) dengan kondisi yang relatif
baik, sedangkan fasilitas CIQS di tempat
lainnya masih sederhana serta belum didukung oleh aksesibilitas yang baik
karena kondisi jalan yang buruk.
Kawasan perbatasan daerah lain seperti di
Kabupaten Sintang, Sambas, Kapuas Hulu, Malinau dan Kutai Barat masih belum
memiliki pintu perbatasan resmi dan masih dalam tahap pembangunan. Sesuai
kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo, sebenarnya telah
disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara bertahap di beberapa
kawasan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sintang dan Bengkayang.
Namun demikian, masyarakat di sekitar
perbatasan sudah menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama
sebagai jalur hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau
kekerabatan. Pos-pos keamanan dan
pertahanan yang tersedia di sepanjang jalur tradisional tersebut masih sangat
terbatas, demikian pula dengan kegiatan patroli keamanan yang masih menghadapi kendala
berupa minimnya sarana dan prasarana transportasi.
Potensi sumberdaya alam kawasan perbatasan di
Kalimantan cukup besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan
produksi (konversi), hutan lindung, dan danau alam yang dapat dikembangkan
menjadi daerah wisata alam (ekowisata) serta sumberdaya laut yang ada di sepanjang
perbatasan laut Kalimantan Timur maupun Kalimantan Barat. Beberapa sumberdaya
alam tersebut saat ini berstatus taman nasional dan hutan lindung yang perlu
dijaga kelestariannya seperti Cagar Alam Gunung Nyiut, Taman Nasional Bentuang
Kerimun, Suaka Margasatwa Danau Sentarum di Kalimantan Barat, serta Taman
Nasional Kayan Mentarang di Kalimantan Timur.
Saat
ini beberapa areal hutan tertentu yang telah dikonversi tersebut berubah fungsi
menjadi kawasan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta
nasional bekerjasama dengan perkebunan Malaysia.
Seiring
dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan tersebut, maka
berbagai kegiatan ilegal telah terjadi seperti pencurian kayu atau penebangan
kayu liar (illegal logging) yang dilakukan oleh oknum-oknum di negara
tetangga bekerjasama dengan masyarakat Indonesia. Kegiatan penebangan kayu secara liar oleh orang-orang Indonesia ini
dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di
sekitar perbatasan, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di kawasan
tersebut.
2.1.2. Kawasan Perbatasan di Papua
Sebelum mengalami pemekaran
kabupaten, kawasan perbatasan di Papua terletak di 4 (empat) kabupaten yaitu
Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Merauke.
Setelah adanya pemekaran wilayah kabupaten, maka kawasan perbatasan di Papua
terletak di 5 (lima) wilayah kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura, Kabupaten
Keerom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten
Merauke, serta 23 (dua puluh tiga) wilayah kecamatan (distrik). Dari kelima kabupaten tersebut, Kabupaten Keerom, Pegunungan
Bintang dan Boven Digoel merupakan kabupaten baru hasil pemekaran.
Garis
perbatasan darat antara Indonesia dan PNG di Papua memanjang sekitar 760
kilometer dari Skouw, Jayapura di
sebelah utara sampai muara sungai Bensbach, Merauke di sebelah Selatan. Garis
batas ini ditetapkan melalui perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Inggris
pada pada tanggal 16 Mei 1895.
Jumlah
pilar batas di kawasan perbatasan Papua hingga saat ini masih sangat terbatas,
yaitu hanya 52 buah. Jumlah pilar batas ini tentu sangat tidak memadai untuk
suatu kawasan perbatasan yang sering dijadikan tempat persembunyian dan
penyeberangan secara gelap oleh kelompok separatis kedua negara. Kondisi ini
diperburuk lagi oleh ketidaktahuan masyarakat di sekitar perbatasan terhadap
garis batas yang memisahkan kedua negara, bahkan diantara penduduk tersebut
banyak yang belum memiliki tanda pengenal atau identitas diri seperti kartu
tanda penduduk atau tanda pengenal lainnya.
Pintu atau pos perbatasan di kawasan perbatasan Papua
terdapat di Distrik Muara Tami Kota Jayapura dan di Distrik Sota Kabupaten
Merauke. Kondisi pintu perbatasan di Kota Jayapura masih belum dimanfaatkan
secara optimal sebagaimana pintu perbatasan di Sanggau dan Nunukan, karena
fasilitas CIQS-nya belum lengkap tersedia. Pada umumnya aktifitas pelintas
batas masih berupa pelintas batas tradisional seperti yang dilakukan oleh
kerabat dekat atau saudara dari Papua ke PNG dan sebaliknya, sedangkan kegiatan
ekonomi seperti perdagangan komoditas antara kedua negara melalui pintu batas
di Jayapura masih sangat terbatas pada perdagangan barang-barang kebutuhan
sehari-hari dan alat-alat rumah tangga
yang tersedia di Jayapura. Kegiatan pelintas batas di pintu perbatasan
di Marauke relatif lebih terbatas dibanding dengan Jayapura, dengan kegiatan
utama arus lintas batas masyarakat kedua negara dalam rangka kunjungan keluarga
dan perdagangan tradisional. Kegiatan perdagangan yang relatif lebih besar
justru terjadi dipintu-pintu masuk tidak resmi yang menghubungkan masyarakat
kedua negara secara ilegal tanpa adanya pos lintas batas atau pos keamanan
resmi.
Kawasan perbatasan Papua memiliki sumberdaya alam yang
sangat besar berupa hutan, baik hutan konversi maupun hutan lindung dan taman
nasional yang ada di sepanjang perbatasan. Kondisi hutan yang terbentang di
sepanjang perbatasan tersebut hampir seluruhnya masih belum tersentuh atau
dieksploitasi kecuali di beberapa lokasi yang telah dikembangkan sebagai hutan
konversi. Selain sumberdaya hutan, kawasan ini juga memiliki potensi sumberdaya
air yang cukup besar dari sungai-sungai yang mengalir di sepanjang
perbatasan. Demikian pula kandungan
mineral dan logam yang berada di dalam tanah yang belum dikembangkan seperti
tembaga, emas, dan jenis logam lainnya yang bernilai ekonomi cukup tinggi.
Secara
fisik kondisi kawasan perbatasan di Papua bergunung dan berbukit yang sulit
ditembus dengan sarana perhubungan biasa atau kendaraan roda empat. Sarana
perhubungan yang memungkinkan untuk mencapai kawasan perbatasan adalah pesawat
terbang perintis dan pesawat helikopter yang sewaktu-waktu digunakan oleh
pejabat dan aparat pemerintah pusat dan daerah untuk mengunjungi kawasan tersebut.
Sebagaimana
di daerah lainnya kondisi masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan Papua
sebagian besar masih miskin, tingkat kesejahteraan rendah, tertinggal serta
kurang mendapat perhatian dari aparat pemerintah daerah maupun pusat. Kondisi masyarakat Papua di sepanjang
perbatasan yang miskin, tertinggal dan terisolir ini tidak jauh berbeda dan
relatif setara dengan masyarakat di PNG. Melalui bantuan sosial yang banyak
dilakukan oleh para misionaris yang beroperasi dalam rangka pelayanan
kerohanian menggunakan pesawat milik gereja, banyak masyarakat yang tertolong
dan dibantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Fasilitas perhubungan
milik misionaris ini bahkan dimanfaatkan oleh para pejabat daerah dalam
melakukan kunjungan kerjanya di kawasan perbatasan.
2.1.3. Kawasan Perbatasan di
Nusa Tenggara Timur (NTT)
Kawasan perbatasan antarnegara dengan Timor Leste di NTT
merupakan kawasan perbatasan antarnegara yang terbaru mengingat Timor Leste
merupakan negara yang baru terbentuk dan sebelumnya adalah salah satu Provinsi
di Indonesia. Perbatasan
antarnegara di NTT terletak di 3 (tiga) kabupaten yaitu Belu, Kupang, dan Timor
Leste Utara (TTU). Perbatasan
antarnegara di Belu terletak memanjang dari utara ke selatan bagian pulau
Timor, sedangkan Kabupaten Kupang dan TTU berbatasan dengan salah satu wilayah Timor
Leste, yaitu Oekussi, yang terpisah dan berada di tengah wilayah Indonesia (enclave).
Garis batas antarnegara di NTT ini terletak di 9 (sembilan) kecamatan,
yaitu 1 (satu) kecamatan di Kabupaten Kupang, 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten
TTU, dan 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Belu.
Pintu perbatasan di NTT terdapat di beberapa
kecamatan yang berada di tiga kabupaten tersebut, namun pintu perbatasan yang
relatif lengkap dan sering digunakan sebagai akses lintas batas adalah di
Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Fasilitas perbatasan yang ada seperti
CIQS, sudah cukup lengkap walaupun masih darurat, seperti kantor kantor bea
cukai yang belum dilengkapi dengan alat detektor/scan bagi barang yang masuk dan keluar NTT, kantor imigrasi yang
masih sangat sederhana, karantina hewan dan tumbuhan, serta pos keamanan yang
juga masih sederhana.
Prasarana pasar di perbatasan yang terletak
di dekat pintu perbatasan rusak berat akibat perusakan oleh sekelompok orang
dalam insiden yang terjadi pada tahun 2003, sehingga dipindahkan ke tempat lain
dan saat ini masih dalam kondisi darurat, sedangkan sarana dan prasarana lain
seperti sekolah dan pusat kesehatan masyarakat telah tersedia walau dalam
kondisi yang belum baik. Fasilitas-fasilitas sosial yang telah ada dibangun oleh pemerintah pusat
dan daerah untuk kebutuhan para pengungsi.
Sarana dan prasarana perhubungan darat maupun
laut ke pintu perbatasan Timor Leste cukup baik, sehingga akses kedua pihak
untuk saling berkunjung relatif mudah dan cepat. Kondisi jalan dari Atambua,
ibukota Belu, menuju pintu perbatasan cukup baik kualitasnya, sehingga
perjalanan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Hal ini dapat dimengerti karena kedua daerah NTT dan Timor Leste sebelumnya
merupakan dua Provinsi yang bertetangga, sedangkan hubungan udara telah dipenuhi oleh
maskapai penerbangan Merpati yang memiliki penerbangan regular dari Bali ke
Dili.
Kegiatan
perdagangan lintas batas yang terjadi sebagian besar adalah perdagangan kebutuhan alat-alat rumah tangga
dan bahan makanan lainnya yang tersedia di kawasan perdagangan atau di Atambua,
ibukota kabupaten Belu. Kegiatan lintas batas lainnya adalah kunjungan
kekerabatan antar keluarga karena banyaknya masyarakat eks pengungsi Timor
Leste yang masih tinggal di wilayah Atambua, sedangkan warga Indonesia
lainnya yang berkunjung ke Timor Leste adalah dalam rangka melakukan kegiatan
perdagangan bahan makanan dan komoditi lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat
Timor Leste.
Kegiatan
lintas batas yang sering terjadi adalah lintas batas tradisional melalui jalan
masuk yang dahulu pernah digunakan sebagai jalan biasa sewaktu Timor Leste
masih menjadi salah satu Provinsi Indonesia, seperti yang ada di
perbatasan antara Kabupaten TTU (Provinsi NTT) dan Oekussi (Timor Leste). Untuk
memfasilitasi warganya di Oekussi mengunjungi wilayah Timor Leste lainnya,
Pemerintah Timor Leste mengusulkan adanya ijin bagi warga Oekussi untuk
menggunakan prasarana jalan dari Oekussi ke wilayah utama Timor Leste. Namun usulan ini masih belum ditanggapi oleh
pihak Republik Indonesia
Potensi
sumberdaya alam yang tersedia di kawasan perbatasan NTT pada umumnya tidak
terlalu besar, mengingat kondisi lahan di sepanjang perbatasan tergolong kurang
baik bagi pengembangan pertanian, sedangkan hutan di sepanjang perbatasan bukan
merupakan hutan produksi atau konversi serta hutan lindung atau taman nasional
yang perlu dilindungi.
Kondisi
masyarakat di sepanjang perbatasan umumnya miskin dengan tingkat kesejahteraan
yang rendah dan tinggal di wilayah terisolir. Sumber mata pencaharian utama
masyarakat di kawasan perbatasan adalah kegiatan pertanian lahan kering yang
sangat tergantung pada hujan. Kondisi masyarakat di wilayah Indonesia ini
saat ini pada umumnya bahkan masih relatif lebih baik dari masyarakat Timor
Leste yang tinggal di sekitar perbatasan. Dengan demikian, kawasan perbatasan
di NTT khususnya di lima kecamatan yang berbatasan langsung dengan Timor Leste
maupun daerah NTT secara keseluruhan perlu diperhatikan secara khusus karena
dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan yang cukup tajam antara masyarakat NTT
di perbatasan dengan masyarakat Timor Leste, khususnya penduduk Belu yang
sebagian besar masih miskin.
2.2. Kawasan Perbatasan
Laut
Kawasan
perbatasan laut Indonesia meliputi Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE), Batas Landas Kontinen (BLK), Batas Zona Tambahan (BZT),
dan Batas Zona Perikanan Khusus (Special
Fisheries Zone/SFZ).
Ketiga
garis batas laut pertama ditentukan lebarnya oleh keberadaan pulau-pulau kecil
di kawasan perbatasan yang diperlukan untuk penentuan titik dasar/garis pangkal
kepulauan. Oleh
karena itu, keberadaan pulau-pulau terluar, yang jumlahnya paling sedikit 92
pulau yang tersebar di 17 Provinsi mulai dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
sampai Papua, sangat strategis.
Pulau-pulau kecil terluar tersebut berbatasan
langsung dengan negara lain, yaitu dengan India (3 pulau), Malaysia (22 pulau),
Singapura (5 pulau), Malaysia dan Vietnam (1 pulau), India dan Thailand (1
pulau), Filipina (11 pulau), Vietnam (2 pulau),
Australia (24 pulau), Palau (8 pulau), dan Timor Leste (6 pulau),
sementara 9 pulau lainnya berbatasan langsung dengan laut lepas.
Potensi pulau-pulau terluar di perbatasan laut cukup besar dan
bernilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Beberapa pulau di Kepulauan Riau
misalnya, dapat dikembangkan sebagai kawasan konservasi penyu dan kawasan
wisata bahari karena kondisi alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula
pulau yang memiliki potensi perikanan sehingga dapat dikembangkan untuk
meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, tidak seluruh
pulau dapat dikembangkan karena kondisi alam yang tidak memungkinkan. Dari
keseluruhan pulau-pulau terluar yang ada, hanya 33 pulau yang dihuni oleh
manusia. Pulau-pulau yang tidak dapat dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu
atau pulau karang dengan luasan yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh
kapal.
Secara
umum, pulau-pulau kecil terluar menghadapi permasalahan yang hampir serupa satu
sama lain. Sebagian besar pulau-pulau kecil terluar
merupakan pulau terpencil dengan aksesibilitas yang rendah serta tidak memiliki
infrastruktur yang memadai.
Karena
jauhnya keterjangkauan dari pulau utama, pulau-pulau kecil terluar ini
berpotensi bagi sarang perompak dan berbagai kegiatan ilegal. Disamping itu,
sebagai kawasan perbatasan, sebagian besar pulau kecil terluar belum
memiliki garis batas laut yang jelas
dengan negara lain serta rawan terhadap ancaman sosial budaya, pertahanan, dan
keamanan.
Diindikasikan
pula, terjadi penurunan kualitas lingkungan dan sumber daya alam akibat
aktivitas manusia yang tidak terkendali seperti penambangan pasir maupun
degradasi lingkungan secara alamiah (abrasi) serta belum optimalnya pemanfaatan
potensi sumberdaya alam yang ada.
Hal-hal
tersebut dapat menyebabkan terancamnya keberadaan dan fungsi pulau-pulau kecil
terluar. Tidak berkembangnya pulau-pulau terluar di perbatasan Indonesia, dapat
menyebabkan lunturnya wawasan kebangsaan dan nasionalisme masyarakat setempat,
terancamnya kedaulatan negara karena hilangnya garis batas negara akibat abrasi
atau pengerukan pasir laut, terjadinya penyelundupan barang-barang ilegal,
pencurian ikan oleh nelayan asing, adanya imigran gelap dan pelarian dari
negara tetangga, hingga ancaman okupasi oleh negara asing.
Dari
keseluruhan pulau-pulau kecil terluar yang ada, terdapat 13 pulau terluar yang
diprioritaskan penanganannya oleh pemerintah, karena memiliki arti strategis
bagi pembangunan baik di bidang ekonomi, konservasi maupun pertahanan dan
keamanan. Pulau-pulau tersebut tersebar di delapan
provinsi, yaitu NAD, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Papua, NTT, dan Maluku Tenggara. Daftar pulau-pulau terluar yang diprioritaskan
pengembangannya disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Pulau-Pulau Terluar Prioritas
No.
|
Nama Pulau
|
Kabupaten/Kota
|
Provinsi
|
Negara yang berbatasan
|
1
|
P. Rondo
|
Sabang
|
NAD
|
India
|
2
|
P. Berhala
|
Deli
Serdang
|
Sumatera Utara
|
Malaysia
|
3
|
P. Nipah
|
Batam
|
Riau
|
Singapura
|
4
|
P. Sekatung
|
Natuna
|
Riau
|
Vietnam
|
5
|
Kepulauan Anambas
|
Natuna
|
Riau
|
Malaysia
|
6
|
P. Sebatik
|
Nunukan
|
Kalimantan
Timur
|
Malaysia
|
7
|
P. Marore
|
Sangihe
|
Sulawesi Utara
|
Philipina
|
8
|
P. Miangas
|
Talaud
|
Sulawesi Utara
|
Philipina
|
9
|
P. Fani
|
Sorong
|
Papua
|
Palau
|
10
|
P. Fanildo
|
Biak
|
Papua
|
Palau
|
11
|
P. Asubutun
|
MTB
|
Maluku Tenggara
|
Australia
|
12
|
P. Batek
|
Kupang
|
NTT
|
Timor-Timur
|
13
|
P. Wetar
|
MTB
|
Maluku Tenggara
|
Timor-Timur
|
Sumber: Dephankam, 2003
Secara
spesifik, setiap pulau-pulau kecil terluar tersebut memiliki permasalahan yang
khas, bergantung kepada kondisi geografis dan keterkaitan dengan pulau
utamanya, serta pengaruh dari negara tetangga yang berbatasan langsung
dengannya. Pulau-pulau yang berbatasan dengan Negara Malaysia, Singapura, dan Filipina
kondisi sosial ekonominya lebih baik karena pengaruh dari negara tetangga.
Selain itu, terdapat pula pulau-pulau di kawasan perbatasan yang rendah ancaman
ipolekesosbudnya, seperti pulau-pulau di
perbatasan India,
Vietnam,
dan Palau.
Namun demikian pengembangan pulau-pulau yang rendah potensi sengketanya
tersebut tetap signifikan untuk mengurangi berbagai kegiatan ilegal dan untuk
mempertegas titik-titik yang menjadi acuan bagi penetapan batas-batas wilayah
negara.
Dari 92
pulau-pulau terluar yang berada di kawasan perbatasan laut, hanya beberapa
pulau saja yang memiliki fasilitas perbatasan CIQS. Beberapa pulau tersebut antara lain Pulau
Miangas di Kabupaten Talaud dan Pulau Marore di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang
berdekatan dengan wilayah Filipina Selatan.
Pos penjagaan perbatasan yang ada di pulau ini hanya berupa pos
lintas batas beserta kantor imigrasi, sedangkan kantor bea dan cukai serta
karantina belum dibangun. Kegiatan lintas batas yang dilakukan adalah kegiatan
perdagangan antara masyarakat Filipina Selatan dan masyarakat kepulauan Sangihe
Talaud dan kegiatan kunjungan kekeluargaan serta persinggahan nelayan-nelayan
kedua negara. Barang-barang perdagangan yang masuk di Sangihe Talaud dan Manado dan sebaliknya
yang menuju Filipina Selatan biasanya melewati kedua pulau ini yang dibawa
dengan kapal laut. Penjagaan kedua pulau ini dilakukan oleh aparat kepolisian
yang mengadakan patroli bersama-sama dengan TNI AL.
Kondisi
masyarakat yang umumnya nelayan dan pedagang relatif miskin dengan biaya hidup
yang cukup tinggi. Kebutuhan pangan dan sandang kedua kepulauan ini banyak
disediakan dari Manado
dengan biaya transport yang tinggi. Uang yang beredar di pasaran setempat
adalah campuran antara mata uang Filipina (peso) dan Indonesia (rupiah). Kondisi sosial
ekonomi masyarakat di kedua pulau ini cukup berbeda dengan kondisi masyarakat
Filipina Selatan yang sedikit lebih baik dari pada penduduk kedua pulau ini. Ancaman
yang dihadapi oleh kedua pulau perbatasan terpencil ini adalah menurunnya
tingkat kesejahteraan masyarakat akibat minimnya infrastruktur sosial ekonomi
serta menurunnya rasa cinta tanah air dan bela negara karena kurangnya
informasi dan komunikasi.
Sebagaimana
halnya dengan Sulawesi Utara, kawasan perbatasan laut di Riau merupakan pulau-pulau
kecil. Pintu masuk lintas batas antara Indonesia – Singapura dan Indonesia – Malaysia hanyalah
di Pulau Batam, sedangkan
pulau lainnya hanya memiliki patok batas antarnegara yang dijadikan sebagai
titik koordinat perbatasan. Ancaman yang dihadapi saat
ini adalah keberadaan pulau-pulau tersebut berpotensi hilang karena penambangan
pasir yang hampir menenggelamkan pulau-pulau tersebut. Apabila pulau-pulau
kecil ini hilang maka permasalahan yang lebih besar akan muncul adalah
terancamnya garis batas dan kaburnya titik koordinat ketiga negara (Indonesia,
Singapura dan Malaysia).
Permasalahan lain adalah dijadikannya pulau-pulau ini sebagai sarang perompak
kapal, basis penyelundupan barang perdagangan ilegal, penyelundupan manusia
untuk tenaga kerja ilegal di Malaysia
dan Singapura.
KONDISI UMUM INDONESIA KAWASAN PERBATASAN ANTARNEGARA
4/
5
Oleh
fuadi