Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Sunday, July 3, 2016

LAILATUL QADR PARA SUFI

LAILATUL QADR PARA SUFI

LAILATUL QADR PARA SUFI
Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
Di tengah keheningan malam yang melingkupi Pesantren Sufi yang dipenuhi jama’ah pemburu Lailatul Qodr, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang membuat para jama’ah menoleh berbarengan ke arah halaman melihat Mas Wardi Bashari, santri lawas, melonjak-lonjak kegirangan di samping Sufi Sudrun. Rupanya, di bawah petunjuk dan arahan Sufi Sudrun, Mas Wardi Bashari menyaksikan dengan pandangan bashirah bagaimana gemuruh para malaikat dan ruh turun dari langit tinggi ke langit dunia.
“Aku sudah menyaksikan. Aku sudah menyaksikan,” seru Mas Wardi Bashari dengan nafas terengah-engah,”Sungguh penyaksian yang luar biasa menakjubkan.”
Hanya dalam hitungan menit, mushola yang semula penuh menjadi kosong karena semua lari ke halaman, ingin menyaksikan malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh ke dunia. Sambil bertanya ini dan itu kepada Mas Wardi Bashari dan Sufi Sudrun, mereka ingin ikut menikmati anugerah ruhani menyaksikan malam yang lebih baik dari seribu bulan itu. Sebagian di antara jama’ah yang diberitahu Mas Wardi Bashari tentang kegaiban luar biasa yang disaksikannya yang berlangsung sampai saat itu, bersujud syukur memanjatkan puja-puji kemuliaan kepada Tuhan meski mereka tidak menyaksikan sendiri malam mulia itu. Hingar kegembiraan menyemarakkan malam ke-21 Ramadhan dengan celoteh para pemburu Lailatul Qodr.
Setelah lebih setengah jam terlibat hiruk di halaman, Ndemo dan Aditya masuk ke dalam mushola, di mana mereka mendapati Guru Sufi, Sufi tua, Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Senewen sedang tenggelam dalam kekhusyukan iktikaf. Mereka seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan kejadian apa pun yang berlangsung di sekitarnya. Mereka melanjutkan iktikaf sampai fajar.
Usai sholat Subuh dengan benak dikitari tanda tanya Aditya bertanya kepada Guru Sufi tentang peristiwa aneh tidak masuk akal yang dialami Mas Wardi Bashari, yaitu menyaksikan bagaimana pada malam kemuliaan itu para malaikat dan ruh turun dari langit ke dunia. “Mohon maaf Mbah Kyai, apakah malam kemuliaan itu memang bisa kita saksikan?” tanya Aditya.
“Yang bersih hati dan jiwanya, bisa menyaksikan secara bashirah,” sahut Guru Sufi datar.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya belum puas,”Kalau Mas Wardi Bashari saja bisa menyaksikan Lailatul Qodr, maka logikanya Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir pasti lebih bisa menyaksikannya.”
Guru Sufi diam tak menjawab.
“Maaf Mbah Kyai,” kata Aditya melanjutkan pertanyaan,”Kalau Mbah Kyai punya kemampuan untuk menyaksikan Lailatul Qodr, kenapa Mbah Kyai tidak keluar untuk menyongsong Lailatul Qodr? Bukankah dengan kemampuan menyaksikan yang gaib itu, Mbah Kyai akan sangat muda menjemput malam kemuliaan yang ditandai turunnya para malaikat dan ruh itu ke dunia?”
“Kami tidak pernah berhasrat kepada godaan Lailatul Qodr,” sahut Guru Sufi dingin.
“Apa, godaan?” sergah Aditya kaget,”Mbah Kyai tidak berhasrat kepada Lailatul Qodr? Bagaimana ini? Bukankah orang sedunia beramai-ramai mencari Lailatul Qodr tapi Mbah Kyai malah menganggapnya sebagai godaan,bagaimana penjelasannya?”
“Memangnya ada perintah yang mewajibkan kita untuk mencari dan menjemput Lailatul Qodr?” sahut Guru Sufi datar,”Apakah hukum menjemput Lailatul Qodr itu wajib atau sunnah? Apakah Rasulullah Saw pernah mencontohkan iktikaf di masjid dengan tujuan utama mendapatkan Lailatul Qodr?”
Aditya diam tidak menjawab.
“Kalau berdzikir mengingat Allah, Dzat Yang Memiliki dan Mengaruniakan Lailatul Qodr kepada umat Islam, apakah hukumnya?” tanya Guru Sufi.
“Kalau Dzikir itu hukumnya wajib, Mbah Kyai, karena perintah untuk dzikir mengingat Allah itu diungkapkan berkali-kali di dalam Qur’an,” sahut Aditya garuk-garuk kepala,”Tapi semua orang di dunia pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini pada berebut menjemput Lailatul Qodr. Apakah itu salah Mbah Kyai?”
“Tidak ada yang salah dari kebiasaan memperebutkan pahala seribu bulan yang sudah berurat akar itu, sebagaimana tidak salahnya orang-orang yang berjuang keras untuk bisa masuk ke dalam surga karena Lailatul Qodr sendiri adalah bagian dari ni’mah Ilahi yang bermuara ke ni’mah surgawi. Tetapi apa yang kami lakukan dengan istiqomah mengarahkan kiblat hati dan pikiran hanya kepada Allah sehingga mengabaikan dan bahkan menganggap Lailatul Qodr sebagai bagian dari godaan ni’mah surgawi yang bisa memalingkan hati dan pikiran kami dari Allah, juga tidak boleh dianggap salah,” jawab Guru Sufi.
“Tapi Mbah Kyai, bagaimana orang beragama menjalankan perintah Allah dengan mengabaikan ni’mah kemuliaan Lailatul Qodr dan kenikmatan surgawi?” tanya Aditya belum faham.
“Orang beragama menjalankan perintah Allah itu ada dua golongan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Yang pertama, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan mengharap imbalan dari Allah berupa kenikmatan duniawi maupun ukhrawi. Golongan inilah yang paling besar jumlahnya. Sementara golongan yang kedua, adalah golongan yang menjalankan perintah Allah dengan harapan menjadi hamba yang lebih dekat kepada Allah guna mendapat ridho-Nya tanpa mengharap apa pun di antara aneka kenikmatan yang dilimpahkan-Nya kepada hamba-Nya.”
“Maaf Mbah Kyai, bagaimana menjelaskan secara masuk akal perihal kedua golongan itu?” tanya Aditya belum memahami uraian Guru Sufi.
“Jika engkau menjadi orang yang kaya raya, lalu datang orang mendekatimu dan mengatakan wahai Mas Aditya biarlah aku bekerja sebagai karyawanmu asal engkau beri aku gaji yang banyak, engkau beri aku mobil dinas, engkau beri aku jatah makanan yang sangat lezat, engkau beri aku rumah, ijinkan aku sekali waktu masuk ke dalam tamanmu untuk ikut pesta kebun. Inilah analogi dari gambaran golongan pertama yang menjalankan perintah Allah karena berharap mendapat imbalan Ni’mah Allah. Sementara untuk golongan kedua ibaratnya engkau orang yang kaya raya memiliki segala, lalu datang seseorang yang mendekatimu dengan mengungkapkan hasratnya untuk menjadi pegawaimu tanpa sedikit pun ia menginginkan imbalan harta kekayaanmu. Ia menginginkanmu menjadi tuannya. Ia memasrahkan semua dirinya utuh atas keputusanmu, apakah dia akan engkau jadikan pekerjamu sebagai jongos, kacung, sopir, tukang masak, asisten dengan sedikit pun tidak memikirkan imbalan upah dan pemberianmu. Nah, bagaimana kira-kira sikapmu terhadap dua orang yang yang berbeda ini?” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Saya faham Mbah Kyai,” sahut Aditya menyimpulkan,”Berarti Mbah Kyai, Mbah Sufi Jadzab, Pakde Sufi tua, Paklik Sufi Kenthir masuk golongan yang kedua sehingga mengabaikan Lailatul Qodr dan aneka Ni’mah Surgawi, sebaliknya hanya menghadapkan kiblat hati dan pikiran kepada Pemilik sekaligus Pemberi anugerah kemuliaan Lailatul Qodr.”
Guru Sufi diam.
“Kenapa Mbah Kyai memilih menjadi hamba dari golongan kedua?” tanya Aditya ingin penjelasan, “Mohon penjelasan untuk bisa kami jadikan pedoman dalam meniti jalan menuju-Nya.”
“Allah sudah bersabda: Waladziina jahadu fiina lanahdiyanahum subulana (barang siapa berjihad dengan sungguh-sungguh menuju Kami, maka akan Kami beri jalan-jalan Kami). Itu berarti, menuju Allah itu wajib didasari semangat jihad yang menyala-nyala pantang redup dan padam. Tetapi hendaknya kalian ingat, bahwa Allah bukan Sesuatu yang bersifat statis yang membiarkan seseorang mendekati-Nya. Allah akan menguji semua yang mendekati-Nya untuk membuktikan kebenaran dari jihad yang dijalankannya dalam menuju Allah. Begitulah, berbagai hal yang berkaitan dengan ni’mah kemuliaan – maunah, karamah, himmah, tahakkum, termasuk lailatul qodr - yang dihamparkan di hadapan seorang salik pada dasarnya adalah ujian bagi kesungguhannya menuju Allah,” kata Guru Sufi menjelaskan.
“Kami faham Mbah Kyai,” kata Aditya manggut-manggut dengan wajah berseri-seri,”Berarti laku ruhani yang dijalankan para sufi pada dasarnya adalah memaknai secara haqqi qi perjuangan kembali kepada-Nya dengan berpedoman kepada kalimah Innalillahi wa inna ilaihi roji’un – Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Benar begitukah Mbah Kyai?”
Guru Sufi mengangguk meng-iya-kan.
“Alhamdulillah,” sahut Aditya gembira,”Berarti saya tidak perlu lagi marah kalau dicela murid-muridnya ustadz Dul Wahab sebagai ahli neraka karena amaliah bid’ah, karena sejatinya apa yang saya jalankan tujuannya hanya kepada Allah dan tidak bersangkut-paut dengan makhluk ciptaan yang disebut surga dan neraka. Terima kasih Mbah Kyai,” Aditya menyalami dan mencium tangan Guru Sufi dengan hati terasa luas, seluas samudera raya tanpa tepi.

Friday, June 17, 2016

Agama

Agama



. Pengertian Agama
Agama, yang dalam bahasa Arab disebut din, secara sederhana mengandung makna: aturan, ketentuan, atau petunjuk yang wajib ditaati oleh pemeluknya demi mencapai kebaikan, kebahagiaan dan keselamatan.
 Khusus mengenai makna yang terkandung dalam sebutan din untuk menunjuk kepada arti ”agama”, jika dimaknai melaui pendekatan kajian semantik, dapat dipahami sebagai : berutang, dekat, maupun rendah. Hal itu ditemukan apabila ditelusuri kata-kata yang terbentuk melalui susunan huruf-huruf yang membentuk lafaz din tersebut yaitu masing-masing : dy, dan n. Dari ketiga huruf tersebut terbentuk kata-kata: daen (hutang), danaa’ (dekat),  dan dani` (rendah atau hina). [1]
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.[2]
2.   Fungsi Agama
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memiliki fungsi yang vital, yakni sebagai salah satu sumber hukum atau dijadikan sebagai norma. Agama telah mengatur bagaimana gambaran kehidupan sosial yang ideal, yang sesuai dengan fitrah manusia. Agama juga telah memberikan contoh yang konkret mengenai kisah-kisah kehidupan sosio-kultural manusia pada masa silam, yang dapat dijadikan contoh yang sangat baik bagi kehidupan bermasyarakat di masa sekarang. Kita dapat mengambil hikmah dari dalamnya.
Minoritas beranggapan bahwa agama tidak ada relevansinya dengan kehidupan masyarakat zaman sekarang, tetapi mayoritas mengakui bahwa setidaknya agama mempunyai peran bagi kehidupan, bahkan dapat dijadikan pelajaran yang berharga, misalnya agar tidak terjadi tragedi yang sama di masa yang akan datang. Seperti yang kita ketahui, sekarang banyak terdengar suara-suara miring mengenai Islam. Banyak orang kafir yang memanfaatkan situasi ini untuk memojokkan umat Islam di seluruh dunia dengan cara menyebarkan kebohongan-kebohongan, menghembuskan fitnah yang deras ke dalam tubuh masyarakat Islam, sehingga membuat umat Islam itu sendiri merasa tidak yakin dengan keimanannya sendiri.
3.   Agama dalam Masyarakat
Agama berperan  mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita ketahui bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku. Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap memegang peran yang penting, dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat tersebut akan mengalami dekadensi moral dan kekacauan yang nantinya bakal meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan negara. Dan ini merupakan ciri dari akan hancurnya dunia! Yah, kiamat sudah dekat jika agama telah hilang dari sendi-sendi kehidupan. 
Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal kultur maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga agar masyarakat tetap konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai kemanusiaan yang mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta dapat saling bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah awal yang bagus untuk membentuk masyarakat yang madani. 
Peran agama semakin kuat ditandai dengan semakin kuatnya peran ilmu pengetahuan yang diramalkan akan mencabut peran agama dalam masyarakat. Namun ramalan itu ternyata tidak sepenuhnya tepat, hingga kini kita masih melihat kecenderungan kuatnya peran agama dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern di kota-kota besar Indonesia, misalnya, menggambarkan adanya kegairahan dalam beragama. Maraknya acara-acara keagamaan dan bermunculannya tokoh-tokoh pendakwah muda menunjukkan adanya permintaan yang sangat besar dari masyarakat kota terhadap otoritas agama. Dalam industri televisi juga dapat dilihat dari begitu tingginya rating acara-acara yang bernuansa agama.
Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa semakin modern sebuah masyarakat tidak serta merta menggeser peran agama dalam kehidupan mereka. Dalam hal-hal tertentu memang kita saksikan adanya pergeseran. Dahulu, hampir semua persoalan sosial yang dialami masyarakat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh agama. Mereka menjadi konsultan dari persoalan publik hingga problem keluarga. Modernisasi kemudian menggeser peran itu. Persoalan sosial tersebut kini sudah terfragmentasi dalam lembaga-lembaga khusus sesuai dengan keahlian dari pengelola lembaga tersebut. Jadi, dalam batas-batas tertentu modernisasi atau perkembangan ilmu pengetahuan memang telah menggeser posisi agama. Namun itu tidak serta merta dapat dimaknai bahwa agama akan kehilangan fungsi dan menghilang dengan sendirinya.
Di masa modern, yang ditandai dengan ketersediaan berbagai fasilitas hidup yang meungkinkan manusia, terutama yang mampu memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi, untuk mencapai kebutuhan utamanya dengan mudah, agama tetap diperlukan. Bahkan sebaliknya, mengabaikan tuntunan agama dalam kehidupan modern, akan berakibat munculnya mala petaka bagi umat manusia secara meluas sebab manusia-manusia-manusia modern, yang tanpa bimbingan agama, akan bebas mengikuti kecenderungan nafsu serta keinginan mereka;  sekalipun harus mengorbankan hak dan kepentingan pihak lain. Dan di sinilah letak penyebab timbulnya bencana bagi peradaban umat manusia sebagaimana mulai nampak sekarang terutama diakibatkan oleh penguasa produk teknologi canggih yang tidak taat terhadap nilai-nilai luhur dari ajaran agama yang diyakini sebagai tuntunan yang benar.
  Sepanjang masa keberadaan umat manusia, baik sebelum dan di zaman klasik, zaman pertengahan, maupun di era modrn seperti sekarang, agama tetap dibutuhkan demi menjaga keselamatan penghuni jagat raya terutama manusia sebagai pelaku budaya.  Paling tidak ada 7 (tujuh) nilai dasar yang diperjuangkan oleh agama untuk diwujudkan dalam kehidupan modern sekarang dan ke depan agar tercipta harmonisasi dalam kehidupan. Ketujuh nilai dasar tersebut, masing-masing adalah : (1) Jujur ; (2) Tanggung jawab; (3) Visioner; (4) Disiplinn; (5) Kerjasama; (6) Adil; dan (7) Peduli.[3]
Agama harus diberi fungsi sebagai ”lembaga konsultasi” oleh pelaku budaya dengan jalan menempatkan agama sebagai suber petunjuk yang memiliki nilai-nilai universal dan agung karena ajarannya diyakini sebagai bersumber zat yang Maha Transenden.


[1] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, (Jakarta Lentera Hati, 1995), hal. 87.
[2]  http://kamusbahasaindonesia.org/agama, akses 19 November 2012.
[3] Ary Ginanjar Agustian, The ESQ Way 165, (Jakarta: ESQ Leadership Centre,  2007), hal. 19.

Thursday, August 27, 2015

Tentang Asal-Usul Nama “Indonesia”

Tentang Asal-Usul Nama “Indonesia”

Loropikir.com - Berbicara tentang sejarah, Loki yakin nih pasti kalian pernah mendengar istilah “Jas Merah” iya kan? Jas merah merupakan sebuah akronim yang di ambil dari pidato terakhir Bung Karno pada 1966. Kepanjangan dari akronim Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan meninggalkan sejarah. Poin penting yang dapat diambil dari pidato tersebut adalah tentang pentingnya Sejarah Atau Asal-usul.
Jadi kalao kalian nggak ngerti sejarah bangsanya sendiri – tanah airnya sendiri – nanti kalian gampang jadi orang asing di antara bangsa sendiri. Ngapunten nggih, Loki ambil contoh yang gampang saja, cah kekinian apa ada yang nyambung kalo seumpama diajak ngomong kalih simbah yang pake bahasa kromo inggil? Pasti Cuma di jawab “hehehe” tho?
Agustus, merupakan bulan yang sangat di agungkan oleh bangsa Indonesia ini tentu membawa semangat tersendiri bagi masyarakat. Istilahnya semangat kemerdekaan, nah mumpung kalian lagi bersemangat. Loki mau ngajak kalian mengenal Tentang Asal-Usul Nama “Indonesia”. Dahulu jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan, nama Indonesia sudah berseliweran dan eksis digunain dalam berbagai aktivitas politik kaum pergerakan lho, seperti rapat akbar, aksi massa, pawai, famplet, Koran dan lain sebagainya.

Yang jadi pertanyaan kan kapan pertamakali nama Indonesia dipergunakan, Iya kan? Terus, kira-kira siapa yang nemuiin istilah nama Indonesia? Dan bagaimana bisa nama tersebut diadopsi menjadi nama sebuah Bangsa dan negara?
Mungkin diantara kita masih ada yang belum mengetahuinya. Maklum, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah kita memang tidak begitu serius memberitahu kita. Sampai-sampai Pak Presiden Jokowi saja kecele tentang tempat lahir founding father Indonesia Pak Ir. Soekarno.
1. Nama “Indonesia” pertamakali muncul pada 1850, pada sebuah majalah ilmiah tahunan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang terbit di Singapura. Penemunya adalah dua orang Inggris: James Richardson Logan dan George Samuel Windsor Earl.
Saat itu, nama Hindia—nama wilayah kita saat itu—sering tertukar dengan nama tempat lain. Karena itu, keduanya berpikir, daerah jajahan Belanda ini perlu diberi nama tersendiri. Earl mengusulkan dua nama: Indunesia atau Malayunesia. Earl sendiri memilih Malayunesia. Sedangkan Logan yang memilih nama Indunesia. Belakangan, Logan mengganti huruf “u” dari nama tersebut menjadi “o”. Jadilah: INDONESIA.
2. Nama Indonesia kemudian dipopulerkan oleh seorang etnolog Jerman, Adolf Bastian. Dia mempopulerkan nama Indonesia melalui bukunya, Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipelsdan Die Volkev des Ostl Asien. Bastian sendiri mengunjungi Indonesia empat kali.
Di dalam bukunya, Bastian menggunakan kata Indonesia untuk merujuk pulau besar di Nusantara —Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku), Timor, hingga Flores—dan gugusan pulau-pulau yang mengitari pulau tersebut.
3. Penjajah Eropa atas Nusantara, menamai negeri kita ini: India. Namun, agar tidak sama dengan nama India, maka ditambahi huruf ‘H’ di depannya menjadi: Hindia.
Di bawah penjajahan Portugis, namanya Portuguese-india yang artinya ‘Hindia kepunyaan Portugis’. Saat penjajahan Belanda, negeri kita disebut Nederlandsch-Indie, yang berarti ‘Hindia kepunyaan Belanda’. (Pramoedya Ananta Toer, Angkatan Muda Sekarang, 1999).
4. Tahun 1913, Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara mendirikan Kantor Berita untuk bumiputera di Den Haag, belanda. Namanya: Indonesische Persbureau, disingkat IP.
Saat itu Ki Hajar sedang menjalani pembuangan di negeri Belanda akibat aktivitas politiknya di tanah air.
5. Sebelumnya, di tahun 1912, Ki Hajar bersama dua kawannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangkukusumo, mendirikan partai politik bernama Indische Partij (IP). IP merupakan organisasi politik pertama yang terang-terangan memperjuangkan kemerdekaan Hindia—terpisah dari kolonialisme Belanda.
Saat itu, IP mengusulkan agar nama negeri kita ini adalahHindia. Slogan IP yang terkenal: Hindia untuk Hindia! Sayang, usulan IP ini kurang berterima luas di kalangan kaum pergerakan.
6. Pada bulan Februari 1922, para pelajar Indonesia di negeri Belanda sepakat mengadopsi nama Indonesia. Mereka mengubah nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadiIndonesische Vereeniging.
Kemudian, di tahun 1924, koran organisasi ini, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Setahun kemudian, giliran nama Indonesische Vereeniging resmi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
7. Di tanah air, organisasi politik yang pertama sekali menggunakan nama Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Itu terjadi pada tahun 1924. PKI sendiri berdiri tanggal 23 Mei 1920, dengan nama Perserikatan Komunis Hindia. Baru pada bulan Juni l924, melalui sebuah Kongres di Weltevreden, Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.
8. Pada tahun 1927, Soekarno bersama Tjipto Mangunkusumo serta kawan-kawannya diAlgemene Studieclub mendirikan gerakan politik nasionalis bernama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Setahun kemudian, Perserikatan Nasional Indonesia berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dan PNI punya kontribusi besar dalam mempopulerkan nama Indonesia di kalangan rakyat jelata: petani, buruh, dan kaum melarat lainnya.
9. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda Indonesia ke-2 mengikrarkan ‘satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: INDONESIA”. Sejak itulah Indonesia sebagai nama dari sebuah negeri yang diperjuangkan semakin diterima luas di kalangan kaum pergerakan dan masyarakat.
Dua tahun sebelumnya, Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu berjudul “Indonees, Indonees”, yang kemudian di tahun 1944 diubah menjadi “Indonesia Raya”. Lagu tersebut dikumandangkan tanpa lirik oleh WR Soepratman pada waktu Kongres Pemuda Indonesia ke-2. bertempat di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, tahun 1928.
Sejak itulah cita-cita “Indonesia Raya” bergema di hampir semua pulau-pulau sepanjang Semenanjung Malaya hingga Papua. Tahun 1937, di Malaya (sekarang Malaysia), berdiri organisasi nasional bernama Kesatuan Melayu Muda (KMM). Dalam programnya, KMM menyatakan ingin mempersatukan Malaya ke dalam satu ikatan dengan ‘Indonesia Raya’.
10. Tetapi Pramoedya Ananta Toer kurang setuju dengan nama Indonesia. Menurutnya, penggunaan nama itu kurang politis dan ahistoris. Kata Pram, Indonesia berarti kepulauan India; belum keluar dari cara kolonialis menamai negeri kita. Pram sendiri mengusulkan dua nama yang dilahirkan oleh sejarah bangsa ini, yaitu Nusantara dan Dipantara. Nusantara muncul semasa dengan Majapahit, yang berarti: kepulauan Antara (dua benua). Sedangkan Dipantara muncul di era Singasari, yang berarti: Benteng Antara (dua benua).
Disadur secara kasar dari berdikarionline
http://loropikir.com/route.php/newsdetail/241

Saturday, November 15, 2014

Metafisika

Metafisika

Sebagai sebuah disiplin filsafat, metafisika telah dimulai sejak zaman yunani kuno, mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah ”metafisika” Aristoteles menyebut disiplin yang mengkaji hal-hal yang sifatnya di luar fisika sebagai filsafat pertama (proto philosophia)untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika. Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika.

Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
a. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
b. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
c. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.

Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut, sebenarnya terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai yang ada being qua being dan (b) yang Ilahi. Namun demikian Aristoteles sendiri tidak menjadikan dua obyek kajian sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu yang berbeda. Seorang filosof Jerman bernama Christian Wolff cenderung meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh karenanya, Wolff memilah filsafat pertama Aristoteles menjadi metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus).

Sunday, September 28, 2014

Mempertajam Intuisi (indrakeenam)

Sahabat, Indra ke enam tidak harus selalu terkait dengan dunia gaib. Alam jin, gendruwo, kuntilanak, dll. Ataupun dunia ramal-meramal, trawangan, dll. he...he..he.. Nah, itulah salah kaprahnya kita bangsa indonesia, sukanya cari ketrampilan yang tidak compatible dengan kebutuhannya. Paling suka kalau disebut orang sakti, tetapi ilmu kesaktiannya tadi tidak bermanfaat untuk membawanya ke puncak tangga sukses. Ya, karena paling banter ilmunya tadi hanya menunjang untuk jadi Paranormal, sebuah profesi yang agaknya cukup banyak diminati oleh masyarakat kita. he..he..he..

Padahal indra ke enam, the six sense, atau Intuisi tidaklah terbatas pada dunia gaib dan dunia ramal-meramal semata. Namun itu terkait dengan segala bidang kehidupan, setiap manusia mempunyai bakat kepekaan indra ke enam. Dan menurut saya, pengembangan Indra ke enam yang terbaik haruslah dapat membawa manfaat bagi kehidupannya dan terutama dapat menunjang apapun profesi yang di gelutinya.

Apakah intuisi itu?
Bagaimana anda bisa menggunakannya lebih baik?
Intuisi adalah kekuatan yang dengan cepat menyadari bahwa “sesuatu” itu adalah kasusnya. Intuisi adalah kemampuan psikis yang dikenal sebagai firasat, atau kemampuan untuk merasakan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal tersebut dilakukan tanpa intervensi dari berbagai proses yang masuk akal. Tidak ada langkah-langkah induktif atau deduktif yang masuk akal. Tidak ada analisa yang wajar dari situasi tersebut, tidak ada bantuan dari imajinasi. Hanya sekilas dan tiba-tiba muncul. Anda hanya tahu ada yang tidak sesuai.

Definisi “intuisi” yang paling praktis dan akurat bagi saya adalah “ketika saya tahu sesuatu, tanpa mengetahui bagaimana caranya, kok, saya bisa tahu hal tersebut.” Inilah juga yang disebut kecerdasan hati, di mana informasinya tidak hadir sebagai buah pikiran, atau analisa yang komprehensif dan akurat dari segala sudut. Intuisi umumnya hadir dalam bentuk sebuah ‘rasa’ yang sederhana, jernih namun berbisik, sehingga untuk bisa menangkapnya kita perlu lebih terbuka dan peka.

Untuk menjadi intuitif adalah sifat alami manusia, hampir setiap manusia mempunyai kemampuan ini, dan pernah mengalaminya selama hidupnya. Yang membedakan hanya tingkatan dari kemampuan ini. Namun, ilmu pengetahuan masih belum menjelaskan mengapa beberapa individu tampaknya lebih kuat dan lebih tajam intuisinya daripada orang lain. Hal ini karena ada beberapa individu langka yang memiliki kemampuan psikis kuat dari yang lain. Banyak orang berpikir bahwa intuisi adalah hanya soal kebetulan. Namun, ada beberapa individu-individu berbakat yang intuisinya jarang gagal dan selalu menjadi kenyataan - ini jelas bukan lagi soal kebetulan.

Sebenarnya setiap orang memiliki intuisi yang kuat dan berpotensi sama. Seorang bayi dan ibu berkomunikasi dan saling memahami lewat rasa, lewat intuisi. Hanya memang ketika kita menjadi dewasa, lalu dididik untuk lebih mengasah pikiran dan kecerdasan otak serta cenderung mengabaikan perasaan, maka perlahan-lahan kemampuan intuisi ini pun menjadi pudar, tumpul bahkan hampir hilang sama sekali bagi sebagian individu. Bahkan bagi orang-orang yang 100% bertumpu pada kecerdasan otak saja, mendengarkan rasa hati dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tidak alami, bahkan bodoh. Menurut orang-orang ini, pilihan dan keputusan yang baik adalah yang diambil berdasarkan proses berpikir dan analisa yang baik.

Mengembangkan Intuisi Anda
Bila Anda ingin untuk hidup yang lebih dibimbing oleh intuisi Anda,
Pertama, ingatlah bahwa semua orang punya intuisi secara alamiah. Ini bukan keterampilan baru yang harus diperoleh, namun keterampilan lama yang terlupakan, dan perlu diasah kembali agar bermanfaat dalam keseharian.

Kedua, untuk melatih kembali intuisi kita, kita perlu membiasakan kembali dengan keheningan, apa pun bentuknya. Dari mulai rileks, berdoa, meditasi, bahkan melamun di toilet pun merupakan bentuk keheningan yang bisa membantu kita untuk memunculkan inspirasi dan intuisi. Tanpa keheningan, intuisi akan tersamar dengan segala arus informasi di sekitar kita, dan kebisingan pikiran kita sendiri.

Ketiga, bila Anda ingin berkonsultasi dengan kata hati Anda, setelah mencapai kondisi yang hening, ajukanlah pertanyaan Anda ke dalam hati. Ini bukanlah sesuatu yang aneh, bahkan sebenarnya sangat wajar dan alamiah.

Keempat, setelah hening dan bertanya, tunggu dan perhatikan. Jawaban atau bimbingan dari hati Anda bisa muncul dalam bentuk rasa, suara, gambar, simbol, mimpi maupun kebetulan-kebetulan yang muncul begitu saja dalam keseharian Anda. Biasanya setiap orang akan memiliki bentuk intuisi yang khas. Ada yang selalu memperoleh intuisi lewat mimpi, atau dalam bentuk rasa hati, maupun rasa di tubuh. Sebagai contoh, sahabat saya selalu memilih restoran yang ingin dikunjungi bilamana perutnya terasa “hangat” ketika mendengar nama restoran itu diucapkan. Sepintas terdengar konyol, tapi saya ingin Anda tahu bahwa kita semua mendengarkan intuisi dengan pola yang berbeda-beda setiap orang.

Kelima, milikilah jurnal intuisi, yang membantu Anda untuk memerhatikan keterkaitan antara kebetulan-kebetulan yang terjadi, isyarat mimpi, rasa di hati dengan kenyataan yang terjadi setiap hari di sekitar Anda. Perlahan-lahan Anda akan mulai memerhatikan bahwa sebenarnya tidak ada yang kebetulan, dan Anda mulai bisa membaca intuisi Anda dengan lebih tepat.

KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
(Pendekatan Teoritik)
Oleh Imam Mawardi
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
                Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
                Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982). Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
Pengertian  Kebenaran