Tuesday, June 20, 2017

Agama dan Budaya



perselisihan dan konflik keagamaan sebenarnya bisa dikurangi atau diminimalisir jika agama tidak hanya dimaknai dan ditempatkan sebagai aturan normatif saja melainkan juga perlu dimaknai dan pahami sebagai produk budaya.[1]Agama bukan hanya sekumpulan teks-teks kitab suci melainkan juga tindakan umatnya di dunia. Bahwa Islam tidak hanya berwajah ajaran normatif melainkan juga praktek historis. Islam normatif merujuk seperangkat ajaran Islam sementara Islam historis mengacu pada praktek dari ajaran tersebut.[2] Dalam prakteknya, antara aspek Islam normatif dan Islam historis tidak selalu berjalan seiring sejalan, sebaliknya di antara keduanya bisa terjadi pertentangan dan ketegangan.[3]
Dari perspektif budaya, agama bisa bermakna naskah-naskah dan simbol-simbol; sikap, perilaku, dan penghayatan para penganutnya; ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadah-ibadah; sarana dan prasarana keagamaan; dan organisasi-organisasi keagamaan.[4] Menurut Komaruddin Hidayat, agama bisa dikaji dari doktrin ketuhanan; Rasul Tuhan sebagai pembawanya; kitab suci yang menghimpun ajaran dasar agama; format dan tata cara ritual; etika sosial; serta konsep dan kehidupan setelah mati.[5]
Dari kesemuanya itu, agama dan ekspresi umat dalam beragama tidak mencerminkan keseragaman melainkan ditemukan keberagaman. Di dalam kehidupan umat Islam misalnya bisa ditemukan berbagai pemahaman/penafsiran, ritus, lembaga dan sarana-prasarana keagamaan, serta organisasi atau mazhab, yang berbeda satu sama lain.
Dalam perspektif budaya pula, keberagaman ekspresi agama sebenarnya tidak bisa dihindarkan. Kita tidak bisa mengenal agama tanpa melibatkan aspek kebudayaan. Islam sendiri turun dalam konteks dan kultur budaya tertentu, yaitu budaya masyarakat Arab. Itulah mengapa setiap ajaran Islam diyakini memiliki alasan-alasan tertentu ketika ia diturunkan oleh Tuhan. Fazlur Rahman misalnya menyebut alasan turunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam dengan ratio legis, yang tidak lepas dari kasus-kasus spesifik dan konteks sosio-kultural yang ada saat itu.[6] Saat Islam bersentuhan dengan budaya tertentu muncul pula pemahaman dan praktek keagamaan yang tidak bisa terlepas atau dilepaskan dari budaya tersebut.
Tidak mengherankan jika didapati adanya keragaman pemahaman dalam khazanah pemikiran Islam. Sebab, ajaran yang datang dipahami tidak saja pada sisi atau aspek normatifnya saja melainkan juga sebagai sesuatu yang tidak lepas dari sosial-budaya masyarakatnya. Agama juga dipahami sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak jarang berkaitan dengan kultur setempat. Pada sisi ini seringkali terjadi di mana agama dan budaya berinteraksi secara harmonis dan saling melengkapi, bukan saling berkonfrontasi/berkonflik atau saling mengalahkan.
Pemahaman terhadap ajaran agama tersebut kemudian mewujud dalam berbagai ekspresi keagamaan seperti munculnya ritus, lembaga-lembaga, sarana-keagamaan, serta organisasi-organisasi keagamaan tertentu, yang sangat memungkinkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya berbeda-beda. Misalnya, kaum Sunni akan memiliki tradisi dan aktivitas keagamaan yang berbeda dengan kaum Syi’ah, meski secara prinsipil juga banyak persamaanya. Bankan di antara umat Islam yang berpaham Sunni pun bisa terjadi perbedaan dalam hal ekspresi keberagamaan.
Dengan demikian bisa dipahami bila terjadi ekspresi keberagamaan yang pluralistik. Agama Islam yang secara normatif sama-sama didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, pada prakteknya bisa dipahami beragam dan memunculkan tidakan keagamaan yang beragam pula. Dalam konteks demikian, seharusnya masing-masing paham keagamaan bisa ditempatkan secara proporsional. Penganut keagamaan selain taat dan patuh pada apa yang diyakininya juga bisa menghormati penganut lain yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan dirinya. Jika terjadi perselisihan di antara umat beragama, semestinya terus diupayakan upaya perdamaian. Bagaimanapun ajaran dasar agama tidak menghendaki timbulnya kekerasan dan pertumpahan darah.
Di sisi lain, sering dikatakan bahwa penmosisian agama sebagai ajaran normatif dan praktek historis ini dianggap mencederai ajaran Islam yang asli atau mencemari ajaran Islam yang sebenarnya, karena banyak pemikiran atau aktivitas keagamaan yang tidak didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendapat demikian pada satu sisi bisa dibenarkan meski pada sisi yang lain tidak semuanya tepat. Benar bahwa al-Qur’an merupakan kitab autentik, tetapi pemahaman terhadapnya bisa beragam. Hal ini terjadi karena pemahaman terhadap al-Qur’an selalu melibatkan aktivitas manusia. Manusia sendiri tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang mengitarinya. Karena itu, pemahaman seseorang atau sekelompok manusia bisa berbeda dalam memahami ayat yang sama dalam al-Qur’an. Terlebih lagi Sunnah, yang tidak lepas dari kesejarahannya. Pemahaman terhadapnya sangat mungkin berbeda. Sebuah hadis bisa dianggap sahih oleh seseorang atau komunitas tertentu, namun dianggap lemah oleh orang komunitas yang lain. Hal ini terjadi karena Sunnah juga tidak lepas dari historisitanya.[7] Pendeknya, semua kembali lagi pada soal interpretasi dan pemahaman manusia yang tidak lepas dari konteks sosial-budaya yang mengitari sang penafsir.
Keberagaman pemahaman tersebut pada gilirannya membentuk sebuah kebudayaan yang pluralistik. Dalam kondisi demikian, dibutuhkan pemahaman pluralitas dalam keberagamaan. Pluralitas tidak harus dipahami sebagai “semua agama itu baik dan pasti benar” atau “semua agama sama dan sebangun”, tetapi pluralitas sesungguhnya menyadarkan kepada kita bahwa tingkat kebenaran pemahaman seseorang atau sekelompok tertentu bersifat relatif dan tentatif. Penafsiran seseorang atau kelompok tertentu terhadap kita suci bukanlah kitab suci itu sendiri. Pluralitas juga harus dipahami sebagai cara memahami agama dari berbagai sudut pandangnya. Sikap ini sangat berguna untuk saling menghargai, menghormati, dan membangun saling pengertian yang kreatif antar sesama pemeluk agama.[8] Di sinilah pentingnya sikap toleransi yang sebenarnya dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Sikap toleran terhadap pandangan atau pemikiran orang lain yang berbeda perlu bahkan harus ditumbuhkembangkan baik ketika seseorang atau sekelompok umat beragama berinteraksi dengan umat beragama lain, terlebih lagi saat mereka berhubungan dengan umat seagama. Ketiadaan sikap toleran terhadap pemahaman yang berbeda bisa menyebabkan antagonisme, perselisihan bahkan pertikaian yang berujung pada peperangan atau pertumpahan darah antar atau inter umat beragama.


[1] Kebudayaan adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kreatifitas manusia di semua bidang usahanya. Kebudayaan bisa juga diartikan sebagai penciptaan, penertiban, dan bahkan pengolahan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Secara terminologis, budaya adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, tradisi dan semua kemampuan yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat di mana mereka tinggal. Secara ontologis, kebudayaan ada karena manusia. Pendeknya, semua aspek yang dihasilkan oleh manusia bisa disebut kebudayaan. Andy Dermawan, Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia, hlm. 40.
[2] Islam normatif dan Islam historis dugunakan Rahman untuk melihat ajaran agama dan keberagamaan (pemahaman dan praktek ajaran agama dalam sejarah), lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of  Chicago Press, 1970). Pemikiran Rahman ini kemudian diadopsi oleh Amin Abdullah dengan menyebutnya normativitas dan historisitas. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Akh. Minhaji menyebutnya dengan istilah Islam normatif (normative Islam) dan Islam empirik (empirical Islam). Lihat pula Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori Metodologi, dan Implementasi, cet. ke-1, (Yogyakarta: Suka Press, 2010).
[3] Simak diskusi lengkap tentang hal tersebut dalam Noel J. Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa oleh Fuad, cet. ke-1 (Yogyakarta: Navila, 2001).
[4] H.M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, cet. ke- 4 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 13-14.
[5] Komaruddin Hidayat, Psikologi Agama: Menjadikan Hidup Lebih Ramah dan Santun,  cet. ke-2 (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 4.
[6] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, alih bahasa oleh Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 7.
[7] Abou Fadl, Speaking in God’s Name: Law Authority, and Women, hlm. 86-87.
[8] Andy Dermawan, Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia, hlm. 52.


Artikel Terkait

Agama dan Budaya
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email