perselisihan
dan konflik keagamaan sebenarnya bisa dikurangi atau diminimalisir jika agama
tidak hanya dimaknai dan ditempatkan sebagai aturan normatif saja melainkan
juga perlu dimaknai dan pahami sebagai produk budaya.[1]Agama
bukan hanya sekumpulan teks-teks kitab suci melainkan juga tindakan umatnya di
dunia. Bahwa Islam tidak hanya berwajah ajaran normatif melainkan juga praktek
historis. Islam normatif merujuk seperangkat ajaran Islam sementara Islam
historis mengacu pada praktek dari ajaran tersebut.[2]
Dalam prakteknya, antara aspek Islam normatif dan Islam historis tidak selalu
berjalan seiring sejalan, sebaliknya di antara keduanya bisa terjadi
pertentangan dan ketegangan.[3]
Dari
perspektif budaya, agama bisa bermakna naskah-naskah dan simbol-simbol; sikap,
perilaku, dan penghayatan para penganutnya; ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadah-ibadah;
sarana dan prasarana keagamaan; dan organisasi-organisasi keagamaan.[4]
Menurut Komaruddin Hidayat, agama bisa dikaji dari doktrin ketuhanan; Rasul
Tuhan sebagai pembawanya; kitab suci yang menghimpun ajaran dasar agama; format
dan tata cara ritual; etika sosial; serta konsep dan kehidupan setelah mati.[5]
Dari
kesemuanya itu, agama dan ekspresi umat dalam beragama tidak mencerminkan
keseragaman melainkan ditemukan keberagaman. Di dalam kehidupan umat Islam
misalnya bisa ditemukan berbagai pemahaman/penafsiran, ritus, lembaga dan
sarana-prasarana keagamaan, serta organisasi atau mazhab, yang berbeda satu
sama lain.
Dalam
perspektif budaya pula, keberagaman ekspresi agama sebenarnya tidak bisa
dihindarkan. Kita tidak bisa mengenal agama tanpa melibatkan aspek kebudayaan.
Islam sendiri turun dalam konteks dan kultur budaya tertentu, yaitu budaya
masyarakat Arab. Itulah mengapa setiap ajaran Islam diyakini memiliki
alasan-alasan tertentu ketika ia diturunkan oleh Tuhan. Fazlur Rahman misalnya
menyebut alasan turunnya ketentuan-ketentuan hukum dalam Islam dengan ratio legis, yang tidak lepas dari
kasus-kasus spesifik dan konteks sosio-kultural yang ada saat itu.[6]
Saat Islam bersentuhan dengan budaya tertentu muncul pula pemahaman dan praktek
keagamaan yang tidak bisa terlepas atau dilepaskan dari budaya tersebut.
Tidak
mengherankan jika didapati adanya keragaman pemahaman dalam khazanah pemikiran
Islam. Sebab, ajaran yang datang dipahami tidak saja pada sisi atau aspek
normatifnya saja melainkan juga sebagai sesuatu yang tidak lepas dari
sosial-budaya masyarakatnya. Agama juga dipahami sebagai alat untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak jarang berkaitan dengan kultur
setempat. Pada sisi ini seringkali terjadi di mana agama dan budaya berinteraksi
secara harmonis dan saling melengkapi, bukan saling berkonfrontasi/berkonflik
atau saling mengalahkan.
Pemahaman
terhadap ajaran agama tersebut kemudian mewujud dalam berbagai ekspresi
keagamaan seperti munculnya ritus, lembaga-lembaga, sarana-keagamaan, serta
organisasi-organisasi keagamaan tertentu, yang sangat memungkinkan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya berbeda-beda. Misalnya, kaum Sunni akan
memiliki tradisi dan aktivitas keagamaan yang berbeda dengan kaum Syi’ah, meski
secara prinsipil juga banyak persamaanya. Bankan di antara umat Islam yang
berpaham Sunni pun bisa terjadi perbedaan dalam hal ekspresi keberagamaan.
Dengan
demikian bisa dipahami bila terjadi ekspresi keberagamaan yang pluralistik.
Agama Islam yang secara normatif sama-sama didasarkan pada al-Qur’an dan
Sunnah, pada prakteknya bisa dipahami beragam dan memunculkan tidakan keagamaan
yang beragam pula. Dalam konteks demikian, seharusnya masing-masing paham
keagamaan bisa ditempatkan secara proporsional. Penganut keagamaan selain taat
dan patuh pada apa yang diyakininya juga bisa menghormati penganut lain yang
memiliki pemahaman yang berbeda dengan dirinya. Jika terjadi perselisihan di
antara umat beragama, semestinya terus diupayakan upaya perdamaian.
Bagaimanapun ajaran dasar agama tidak menghendaki timbulnya kekerasan dan
pertumpahan darah.
Di
sisi lain, sering dikatakan bahwa penmosisian agama sebagai ajaran normatif dan
praktek historis ini dianggap mencederai ajaran Islam yang asli atau mencemari
ajaran Islam yang sebenarnya, karena banyak pemikiran atau aktivitas keagamaan
yang tidak didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendapat demikian pada
satu sisi bisa dibenarkan meski pada sisi yang lain tidak semuanya tepat. Benar
bahwa al-Qur’an merupakan kitab autentik, tetapi pemahaman terhadapnya bisa
beragam. Hal ini terjadi karena pemahaman terhadap al-Qur’an selalu melibatkan
aktivitas manusia. Manusia sendiri tidak bisa lepas dari ruang dan waktu yang
mengitarinya. Karena itu, pemahaman seseorang atau sekelompok manusia bisa
berbeda dalam memahami ayat yang sama dalam al-Qur’an. Terlebih lagi Sunnah,
yang tidak lepas dari kesejarahannya. Pemahaman terhadapnya sangat mungkin
berbeda. Sebuah hadis bisa dianggap sahih oleh seseorang atau komunitas
tertentu, namun dianggap lemah oleh orang komunitas yang lain. Hal ini terjadi
karena Sunnah juga tidak lepas dari historisitanya.[7]
Pendeknya, semua kembali lagi pada soal interpretasi dan pemahaman manusia yang
tidak lepas dari konteks sosial-budaya yang mengitari sang penafsir.
Keberagaman pemahaman tersebut pada gilirannya
membentuk sebuah kebudayaan yang pluralistik. Dalam kondisi demikian,
dibutuhkan pemahaman pluralitas dalam keberagamaan. Pluralitas tidak harus
dipahami sebagai “semua agama itu baik dan pasti benar” atau “semua agama sama
dan sebangun”, tetapi pluralitas sesungguhnya menyadarkan kepada kita bahwa
tingkat kebenaran pemahaman seseorang atau sekelompok tertentu bersifat relatif
dan tentatif. Penafsiran seseorang atau kelompok tertentu terhadap kita suci
bukanlah kitab suci itu sendiri. Pluralitas juga harus dipahami sebagai cara
memahami agama dari berbagai sudut pandangnya. Sikap ini sangat berguna untuk
saling menghargai, menghormati, dan membangun saling pengertian yang kreatif
antar sesama pemeluk agama.[8]
Di sinilah pentingnya sikap toleransi yang sebenarnya dijunjung tinggi dalam
ajaran Islam. Sikap toleran terhadap pandangan atau pemikiran orang lain yang
berbeda perlu bahkan harus ditumbuhkembangkan baik ketika seseorang atau
sekelompok umat beragama berinteraksi dengan umat beragama lain, terlebih lagi
saat mereka berhubungan dengan umat seagama. Ketiadaan sikap toleran terhadap
pemahaman yang berbeda bisa menyebabkan antagonisme, perselisihan bahkan
pertikaian yang berujung pada peperangan atau pertumpahan darah antar atau
inter umat beragama.
[1] Kebudayaan adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk menjelaskan kreatifitas manusia di semua bidang
usahanya. Kebudayaan bisa juga diartikan sebagai penciptaan, penertiban, dan
bahkan pengolahan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Secara terminologis, budaya
adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya mencakup ilmu pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, tradisi dan semua kemampuan yang dibutuhkan
manusia sebagai anggota masyarakat di mana mereka tinggal. Secara ontologis,
kebudayaan ada karena manusia. Pendeknya, semua aspek yang dihasilkan oleh
manusia bisa disebut kebudayaan. Andy Dermawan, Dialektika Islam dan Multikulturalisme di Indonesia, hlm. 40.
[2] Islam normatif dan Islam
historis dugunakan Rahman untuk melihat ajaran agama dan keberagamaan
(pemahaman dan praktek ajaran agama dalam sejarah), lihat Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Pemikiran Rahman ini
kemudian diadopsi oleh Amin Abdullah dengan menyebutnya normativitas dan
historisitas. Lihat Amin Abdullah, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Akh. Minhaji menyebutnya dengan istilah Islam normatif (normative Islam) dan Islam empirik (empirical Islam). Lihat pula Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori Metodologi, dan Implementasi,
cet. ke-1, (Yogyakarta: Suka Press, 2010).
[3] Simak diskusi lengkap
tentang hal tersebut dalam Noel J. Coulson, Konflik
dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa oleh Fuad, cet. ke-1 (Yogyakarta:
Navila, 2001).
[4] H.M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, cet. ke- 4 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 13-14.
[5] Komaruddin Hidayat, Psikologi Agama: Menjadikan Hidup Lebih
Ramah dan Santun, cet. ke-2
(Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 4.
[6] Fazlur Rahman, Islam
dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, alih bahasa oleh Ahsin
Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 7.
[7] Abou Fadl, Speaking in God’s Name: Law Authority, and
Women, hlm. 86-87.
[8] Andy Dermawan, Dialektika Islam dan Multikulturalisme di
Indonesia, hlm. 52.
Agama dan Budaya
4/
5
Oleh
fuadi