Meskipun
agama, dalam hal ini agama Islam, menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal
seperti persaudaraan, keadilan, dan tolerasi, pada prakteknya umat Islam
sendiri tidak terlepas dari berbagai perselisihan, pertikaian, bahkan
pertumpahan darah. Sejarah Islam bahkan mencatat konflik bernuansa agama sudah
muncul dan terjadi sejak Nabi Muhammad saw. wafat. Saat itu, perselisihan
mengerucut pada persoalan kepemimpinan setelah Nabi dan berujung pada munculnya
faksi-faksi dalam umat Islam, seperti munculnya kelompok Sunni, Khawarij,
Syi’ah, dan kelompok-kelompok lainnya.[1]
Khawarij
merupakan kelompok penetang pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dan kekuasaan
Muawiyah. Nama Khawarij sendiri berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu dilekatakan karena mereka
keluar dari kelompok Ali. Dalam persoalan Khilafah, mereka cenderung demokratis
tapi dalam teologi mereka terkenal kaku.[2]
Sementara kelompok Syi’ah merupakan kelompok yang memihak kepada Ali. Pada
intinya, kelompok ini bertitik tolak pada pengakuan bahwa Ali sebagai khalifah
yang sah setelah Nabi wafat.[3]
Konflik-konflik
tersebut kemudian merembet ke persoalan teologi dan persoalan-persoalan lain,
serta sangat berpengaruh pada relasi antar kelompok atau generasi umat Islam
selanjutnya, termasuk pada munculnya kelompok Islam fundamentalis,[4]
yang kini menyebar ke berbagai penjuru dunia Muslim, termasuk Indonesia. Khaled
Abou el-Fadl misalnya mencatat bahwa fundamentalisme keagamaan dapat ditelusuri
dari doktrin kaum khawarij yang sering mengatakan bahwa la> hukma illallah
.[5]
Tidak jarang doktrin ini dijadikan alat legitimasi untuk mengkafirkan kelompok
lain yang secara pemikiran maupun praktek berbeda. Catatan Abou Fadl ini menjadi penting karena
saat ini kita dihadapkan pada munculnya kelompok-kelompok umat Islam yang mudah
sekali mengkafirkan orang lain. Seringkali sikap seperti ini melahirkan
fanatisme keagamaan yang sempit dan berujung pada munculnya tindakan kekerasan
dan konflik berkepanjangan. Apa yang terjadi dengan konflik Sampang-Madura juga
tidak bisa dilepaskan dari doktrin keagamaan yang dipegang teguh para
pemeluknya dan menganggap hanya kelompoknyalah yang benar, sementara yang lain
sesat dan harus dibumi-hanguskan.
Fanatisme
keagamaan yang berujung pada konflik tersebut bisa disebabkan karena adanya
perbedaan keyakinan dan upaya memenangkan kontrol terhadap definisi kebenaran
dalam agama. Ketika agama didefinisikan berbeda dengan definisi pemeluk agama
lainnya, bisa menimbulkan konflik baik yang bersifat horisontal maupun
vertikal.[6]
Di
Indonesia, fanatisme keagamaan akhir-akhir ini semakin meluas dan menebar
bibit-bibit perpecahan, kekerasan dan konflik. Tidak saja menyangkut
perselisihan atau konflik antar agama, perselisihan dan konflik tersebut juga
bisa terjadi di internal umat beragama. Berbagai contoh kekerasan antar dan
inter agama sebagaimana disinggung di atas menujukkan hal tersebut sekaligus
menggambarkan bahwa fanatisme keagamaan bisa terjadi pada siapa pun dan melibatkan
siapa saja. Saat fanatisme keagamaan sudah menghinggapi sebuah kelompok
beragama, tidak mustahil pertikaian, tindakan kekerasan bahkan pertupahan darah
bisa terjadi.
Fanatisme
keagamaan sebenarnya menjadi salah satu tantangan bagi Islam dan agama-agama
lain saat ini. Bambang Sugiharto mencatat, minimal ada tiga tantangan dihadapi
agama saat ini, yaitu:[7]
pertama, agama ditantang tampil
sebagai suara moral-otentik di tengah terjadinya disorientasi nilai dan
degradasi moral. Pada sisi ini, agama seringkali disibukkan dengan krisis
identitas dalam dirinya sendiri, yang berakhir pada pertengkaran internal dan
pada saat yang sama agama kehilangan kepekaan pada hal-hal yang bersifat
substansial.
Kedua,
agama ditantang untuk mampu mendobrak sikap-sikap yang mengarah pada
ekslusivisme pemahaman keagamaan di tengah merebaknya krisis identitas dan
pementingan kelompoknya sendiri. Agama harus menghadapi kenyataan berupa
kecenderungan pluralisme, mengolahnya dalam bentuk teologi baru dan
mewujudkannya dalam aksi-aksi kerjasama plural. Ketiga, agama ditantang untuk melawan segala bentuk penindasan dan
ketidakadilan yang terjadi, termasuk “ketidakadilan kognitif”, yang biasanya
diciptakan oleh agama sendiri.
Pandangan Bambang
bahwa tantangan agama ini semakin sulit dijawab karena beberapa faktor, yaitu:[8]
pertama, kemelut dalam tubuh
masing-masing agama seringkali terproyeksi keluar. Sikap agresif berlebihan
terhadap pemeluk agama lain seringkali merupakan ungkapan yang tidak bisa
dihindari dari chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri. Kecemasan
akibat tuntuan sekular yang tidak bisa dihindarkan, ketidakpastian dogmatik
akibat keragaman interpretasi, serta krisis identitas akibat persaingan
sosio-kultural, dan sebagainya mudah memantul ke dalam bentuk fanatisme dan
kekerasan religius terhadap pemeluk agama lain. Kedua, paham tentang kemutlakan Tuhan juga memudahkan orang untuk
mengidentikan kemutlakan itu dengan kemutlakan agama yang diyakininya. Secara
psikologis, sikap demikian memudahkan orang untuk melegitimasi segala tidakan
kekerasannya sebagai sesuatu yang “dikehendaki oleh Tuhan”.
Ketiga,
terkait dengan keyakinan akan kemutlakan Tuhan, segala tindakan yang
“dikehendaki Tuhan” dianggap akan diganjar oleh Tuhan. Pada konteks ini,
tindakan kekerasan terhadap pemeluk agama lain justeru dinilai merupakan bagian
dari keutamaan moral. Keempat,
naik-daunnya posisi agama dalam konstelasi peradaban saat ini membuat agama
rawan dituggangi kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, dan kultural pribadi
atau kelompok-kelompok tertentu. Jika ini terjadi, integritas agama terancam
hancur. Alih-alih menjadi solusi bagi kemelut modernitas, agama justeru akan
semakin dirasakan sebagai penyakit yang berbahaya. Alih-alih menjadi berkah,
agama tampil justeru sebagai kutukan.
Persoalan
agama ditunggangi memang merupakan masalah yang banyak menyita perhatian saat
ini. Banyak yang meyakini bahwa berbagai tindakan kekerasan dan konflik yang
terjadi dan melibatkan umat beragama sebenarnya tidak mencerminkan ajaran agama
itu sendiri, melainkan lebih bermakna politis, ekonomis, atau sosio-kultural.
Hal ini didasarkan pada alasan bahwa berbagai tindakan kekerasan dan konflik
tersebut berpunggungan atau bertentangan dengan prinsip-prinsip universal yang
diyakini masing-masing agama. Dalam ajaran Islam misalnya diyakini adanya
prinsip-prinsip universal seperti musyawarah (asy-syu>ra),
kesetaraan (al-musawwa) dan
persaudaraan (al-ikha), keadilan (al-‘adalah), kebebasan (al-h}urriyyah),
keterpercayaan (al-amanah),
perdamaian (as-sala>m),
prinsip toleransi (at-tasa>muh).[9]
Karena itu, lebih tepat jika kekerasan dan konflik yang terjadi tidak disebut
sebagai kekerasan dan konflik menurut agama melainkan kekerasan dan konflik
atas nama agama.
Perselisihan
dan konflik Sunni-Syi’ah yang terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka juga
terjadi karena persoalan politik yang berkembang menjadi persoalan akidah,
tarekat, filsafat dan tasawuf. Motif politik menjadi dorongan kuat dalam
memperoleh kepercayaan, pengaruh, dan kekuasaan, baik yang berasal dari
pemerintah maupun dari masyarakat. Hubungan Sunni dan Syi’ah menjadi hubungan
antagonistik, berhadap-hadapan, dan melahirkan perang saudara. Permusuhan
Sunni-Syi’ah terjadi di Kerajaan Peureulak dan Kerajaan Samudera Islam Pasai.
Arya Bakooy (Maharaja Ahmad Permala) diangkat sebagai Perdana Menteri di
Kerajaan Saumdera Islam Pasai (1400-1428 M). Perdana Menteri yang berasal dari
aliran Syi’ah ekstrim ini menyuruh membunuh 40 ulama Sunni dan meletuslah
perang saudara. Kelompok Syi’ah dipimpin sang Perdana Menteri, sedangkan
kelompok Sunni dipimpin oleh Malik Musthofa yang dibantu oleh Sultan Mahmud II,
Alaidin Johan Syah.[10]
Saat
ini perselisihan atau konflik atas nama agama juga bisa dipicu oleh faktor
sosial-budaya. Perselisihan dan konflik yang terjadi dilatarbelakangi oleh
adanya pemikiran dan praktek keberagamaan yang berbeda. Kelompok Islam yang
fanatik mengecam dan menentang berbagai pemikiran dan tradisi kelompok lain
yang tidak sesuai dengan pemikiran dan tradisinya. Atas nama “Islam autentik”
atau “Islam asli”, mereka mengutuk dan memusuhi umat Islam lain yang
dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Hal ini tergambar
jelas dalam ungkapan yang sering terdengar akhir-akhir ini, dimana seseorang
atau sekelompok umat Islam menyebut kelompok Islam lainnya sebagai penganut bid’ah, aliran sesat, dan berpaham
Sipilis (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme). Klaim-klaim seperti ini
tidak hanya berada dalam dataran wacana. Dalam prakteknya sering ditemukan
sekelompok umat Islam melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain yang
tidak sealiran. Kasus-kasus penyerangan penganut Ahmadiyah dan Syi’ah adalah
contoh yang jelas dalam kasus ini.
[1] Noorhaidi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep
Geneaologi, dan Teori (Yogyakarta: Suka Press, 2012), hlm.14. Lihat pula A.
Yani Abeveiro, “Penguasa, Oposisi dan Ekstremis dalam Khilafah Islam (Mapping
Historis)”, dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk., Negara Tuhan: The Thematic Encyclopedia (Jakarta:SR-INS Publishing,
2004), hlm. 41-124.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, cet. ke-5 (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 13-23.
[3] Abd. Salam Arif,
“Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara”, dalam A. Maftuh Abegebriel,
dkk., Negara Tuhan: The Thematic
Encyclopedia, hlm. 34.
[4] Azyumardi Azra mengutip
dari Martin E. Marty, fundamentalisme memiliki empat prinsip, yaitu: pertama,
fundamentalisme merupakan paham perlawanan (oppositionalism) yang sering
bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama,
baik berupa modernitas, sekularisme, atau tata nilai Barat pada umumnya. Kedua,
penolakan terhadap hermeneutika. kaum fundamentalis menolak sikap kritis
terhadap teks dan interpretasinya. Teks Al-Qur’an harus dipahami secara
literal, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat
terhadap teks. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme.
Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan hasil pemahaman yang keliru
terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras
dengan kaum fundamentalis dianggap sebagai bentuk relativisme keagamaan, yang
terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci,
melainkan juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang keluar dari
kendali agama. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan
sosiologis. Kaum fundamentalis menganggap bahwa perkembangan sosiologis dan
historis telah membawa manusia makin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Seharunya perkembangan masyarakat dilihat sebagai “as it should be”
bukan “as it is,” alias masyarakat yang harus menyesuaikan
perkembangannya—jika perlu dengan kekerasan—dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya,
teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Azyumardi Azra,
“Fenomena Fundamentalisme dalam Islam: Survai Historis dan Doktrinal, dalam
jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Vol.IV, Th. 1993, hlm. 19.
[5] Khaled M. Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Law Authority, and
Women (Oxford: Oneworld, 2003), hlm. 23-24.
[6] Andy Dermawan, Dialektika Islam dan Multikulturalisme di
Indonesia, hlm. 83-84.
[7] Bambang Sugiharto,
Agama: Antara Berkah dan Kutukan, dalam Quraish Shihab (et.al.), Atas Nama Agama (Wacana Agama dalam Dialog
“Bebas” Konflik), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 29-31.
[8] Ibid., hlm. 31-32.
[9] Penjelasan singkat
tentang prinsip-prinsip tersebut bisa disimak dalam Abd. Salam Arif, “Politik
Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara”, hlm. 11-18.
[10] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? (Kajian
Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara,
cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 37-38.
Konflik Bernuansa Agama
4/
5
Oleh
fuadi