A.
Pengertian
dan Jenis Konflik Sosial
Istilah
“conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau
perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata
konflik kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau
oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Istilah konflik saat
ini juga menyentuh aspek psikologis dibalik konfrontasi fisik yang terjadi.
Istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya
sebagai sebuah konsep tunggal. [1]
Pruitt
dan Rubin mendefinisikan konflik adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan
atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat
dicapai secara simultan. [2]
Konflik sosial dapat diartikan dalam dua hal, yakni yang pertama adalah
perspektif atau sudut pandang tertentu di mana konflik dianggap selalu ada dan
mewarnai segenap aspek interaksi manusia dan struktur sosial, sedangkan yang
kedua adalah pertikaian yang terbuka seperti perang, revolusi, pemogokan dan
gerakan perlawanan.[3]
Marx
melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan
menyudahi konflik. Marx mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi
hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Bentrokan
kepentingan-kepentingan ekonomis akan berakhir di dalam sebuah bentuk masyarakat
tanpa kelas, bebas konflik dan kreatif. Penyebab ekonomis dari konflik sosial
dan cara-cara konflik itu dibendung dan ditekan oleh kelas yang berkuasa di
dalam setiap masyarakat sebelum meledak menjadi bentuk-bentuk kehidupan sosial
yang baru.[4]
1. Jenis
Konflik
Para
ilmuwan sosial sampai saat ini masih mencari penyebab secara umum, pola-pola
eskalasinya, cara penyelesaian dan berbagai konsekuensi yang ditimbulkannya.
Antara satu jenis konflik dengan knflik yang lainnya selalu ada kemiripan,
meskipun variasi juga selalu ada. Ada tiga varian terpenting yang saling
terkait, yakni karakter pihak yang berkonflik, hakekat tujuan serta sarana yang
digunakan dalam konflik itu sendiri. [5]
Pertama, pihak yang
berkonflik dapat dibedakan atas dasar tingkat organisasi dan kekompakannya.
Pada titik ekstrim yang satu, kita melihat pemerintah, serikat buruh dan
berbagai entitas lainnya yang memiliki peraturan keanggotaan dan pedoman
tindakan yang ketat. Pada titik ekstrim lainnya kita melihat entitas-entitas
longgar yang bersifat abstrak seperti kelas sosial atau pendukung ideologi
tertentu yang kohesivitasnya sulit dilihat ataupun dibuktikan. Hampir setiap
konflik sosial melibatkan banyak pihak yang antara satu dengan yang lain
terkadang tumpang tindih.
Misalnya
saja pemerintah sering berbicara mengatasnamakan pemerintah sendiri, negara
secara keseluruhan, rakyat, ideology, fraksi partai politik tertentu, bahkan
kelas sosial tertentu. Setiap pertanyaan diarahkan pada pihak yang berbeda-beda dan inilah yang
membuat karakter konflik begitu kompleks.
Kedua,
konflik pada dasarnya terjadi karena adanya pertentangan tujuan, dan tujuan itu
sendiri juga bervariasi mulai dari penguasaan tanah, perebutan uang, atau
sekedar pertikaian atas hal-hal sederhana yang dianggap bernilai tinnggi bagi
pihak-pihak tertentu. Konflik yang terjadi karena memperebutkan sesuatu yang
mengandung nilai materi disebut sebagai konflik konsensual, sedangkan
memperebutkan sesuatu yang dianggap bernilai disebut dissensual. Hampir setiap
konflik bisa disebut konflik konsensual sekaligus dissensual, karena setiap
tujuan atau kepentingan yang terlibat di dalamnya memiliki makna yang
berbeda-beda dari setiap pihak yang terlibat, mulai dari hal-hal yang
menyangkut kepentingan remeh sampai dengan hal yang menyangkut kebutuhan dasar
manusia.
Ketiga,
konflik dapat pula dibedakan atas dasar cara yang digunakan. Cara itu
sendiri sangat bervariasi mulai dari pemaksaan terang-terangan, ancaman, sampai
dengan bujukan [misalnya bujukan dalam partai-partai politik dalam pemilihan
umum]. Bila konflik yang sama terus berulang-ulang, maka konflik itu akan terus
melembaga dan cara-caranya pun dilembagakan pula. Contohnya adalah konflik
antara pengusaha dan buruh yang sudah berlangsung sejak abad 19 [Dahrendorf,
1959].
Disamping aspek teoritisnya, nilai orientasi orang-orang yang terlibat
juga penting dalam studi konflik. Ada sebagian teorisi yang mencoba memahami
konflik sosial dari perspektif partisan [ikut terlibat secara langsung], dan ia
mencoba mempelajari bagaimana salah satu pihak berjuang memenuhi
kepentingannya. Ada pula mereka yang berusaha meminimalkan kekerasan dan
mencari cara-cara alternativ untuk mempertahankan diri sekaligus mencapai
tujuannya tanpa harus menumpahkan darah. Yang paling menarik adalah ada pihak
tertentu yang terlibat dalam konflik bukan untuk mencapai suuatu tujuan
melainkan untuk menikmati konflik itu sendiri.
Studi tentang konflik sosial juga
dipengaruhi oleh berbagai kondisi sosial dimana peneliti berada, dan juga
kecenderungan intelektual dan pengaruh paradigma yang berlaku. Sebagai contoh,
di Amerika Serikat selama1950-an konflik dipandang sebagai sesuatu yang tidak
realistis dan tidak bisa diandalkan untuk mencapai tujuan, baik itu di tingkat
individual maupun sosial. Sedangkan akhir 1960-an dan 1970-an konflik justru
dipandang sebagai wahana penting dalam mengatasi berbagai bentuk ketidakadilan.
Berikutnya pada 1980-an, konflik dapandang sebagai suatu hal yang wajar akibat
adanya perbedaan kepentingan.
2.
Penyebab Konflik Sosial
Pada
umumnya para ilmuwan sosial berpendapat bahwa sumber konflik sosial adalah
hubungan-hubungan sosial, politik dan ekonomi; mereka jarang menyoroti sikap
dasar biologis manusia sebagai penyebabnya. Berbagai kondisi dan proses sosial
yang dihadapi salah astu pihak yang terlibat dalam suatu konflik biasanyya
sudah cukup untuk mengungkap terjadinya pertentangan.[6]
Kebanyakan teorisi konflik berpendapat
bahwa konflik bersumber dari perebutan atas sesuatu hal yang terbatas, namun
ada pula yang melihatnya sebagai akibat ketimpangan. Banyak konflik yang
diakibatkan oleh perbedaan tujuan ataupun perbedaan nilai-nilai. Kemandirian
dan persamaan norma acapkali secara efektif mencegah konflik jenis ini. System
yang melingkupi tindakan pihak-pihak yang akan bertikai juga akan mempegaruhi
ada atau tidaknya konflik. Keberadaan sarana-sarana yang sah untuk mengelola
konflik biasanya dapat mengurangi kecenderungan pecahnya konflik. Para teorisi
fungsional menekankan pentingnya integrasi nasional dan karakter konsensual
dari sistem-sistem sosial, karena mereka percaya banyak konflik sesungguhnya
diakibatkan oleh perubahan sosial yang tidak merata. Konflik seperti itu
cenderung memicu perilaku yang oleh para analis lebih bersifat ekspresif
ketimbang instrumental.[7]
Kesadaran bagi pihak-pihak tang bertikai
juga menentukan keberadaan konflik. Sejumlah analis berpendapat bahwa kesadaran
seperti itu muncul dari deprivasi absolut, namun adapula yang menganggap deprivasi
relative lebih penting. Biasanya, keyakinan anggota-anggota kelompok tertentu
bahwa mereka dapat memperbaiki kondisi status
quo, sedangkan kelompok lain tidak menganggap demikian, adalah cikal bakal
konflik. Kekuatan dan kohesi kelompok dominan juga turut menentukan ada
tidaknya konflik yang pada hakikatnya merupakan tentangan terhadap dominasi
itu. Kelompok-kelompok yang menginginkan perubahan harus berusaha
memobilisasikan kekuatan untuk mencapai tujuan itu. Ikatan-ikatan
antar-personal sangat menunjang mobilisasi, dan hal itu pula yang dimanfaatkan
oleh para pemimpim kharismatik, atau para ideologi.[8]
[1] Dean G. Pruit dan
Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial, Helly P. Soetjipto (Penerjemah)
Cet. III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 9.
[2] “..Keputusan kami
dipengaruhi oleh fakta bahwa kami adalah
ahli psikolog sosial yang terbiasa berfikir dalam kerangka dampak kondisi
mental terhadap perilaku sosial...” Lengkapnya lihat Dean G. Pruit dan Jeffrey
Z. Rubin, Teori Konflik.........., hal. 9-10.
[3] Adam Kuper dan Jessica
Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Haris Munandar (Penerjemah),
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 155-156.
[4] Tom Campbell, Tujuh
Teori Sosial, Sketsa, Penilaian dan Perbandingan, F. Budi Hadiman (Penerjemah),
(Yogyakarta: Kanisius, 2001) Cetakan ke-6, hal. 134.
[5] Adam Kuper dan Jessica
Kuper, Ensiklopedi.... hal. 156-157
[6] Adam Kuper dan Jessica
Kuper, Ensiklopedi ......, hal. 157
[7] Ibid
[8] Adam Kuper dan Jessica
Kuper, Ensiklopedi.... hal 158
Konflik Sosial
4/
5
Oleh
fuadi