Makalah tugas hukum internasional
Di buat oleh :
Nama : Adella ghea . s
Npm : 1471010015
Kelas : A
Fakultas hukum
Universitas Pembangunan Nasional ‘’Veteran’’ JATIM
Sengketa Sipadan dan Ligitan
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan
dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini
berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di
bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba
menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang
terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang
luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia
telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya,
fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa
pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua
pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada
tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau
TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain
menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa
kepemilikan Sabah dengan Filipina
serta sengketa kepulauan Spratley di Laut
Cina Selatan
dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada
tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan
pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk
mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap
pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu
menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak.
Dalam kunjungannya ke Kuala
Lumpur
pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui
usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar
Ibrahim,
dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997,
kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada
tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula
Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada
tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada
hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya,
dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1
orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim
tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi
dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia)
telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu
suar
sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan
batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Sengketa Sipadan dan Ligitan
4/
5
Oleh
fuadi