1.
Diri
dalam Konteks Sosial
Plato mengatakan, mahluk hidup yang disebut manusia
merupakan mahluk sosial dan mahluk yang senang bergaul/berkawan (animal society
= hewan yang bernaluri untuk hidup bersama). Status mahluk sosial selalu
melekat pada diri manusia. Manusia tidak bisa bertahan hidup secara utuh hanya
dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia,
manusia memerlukan bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Ciri utama mahluk
sosial adalah hidup berbudaya. Dengan kata lain hidup menggunakan akal budi
dalam suatu sistem nilai yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Hidup berbudaya
tersebut meliputi filsafat yang terdiri atas pandangan hidup, politik,
teknologi, komunikasi, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Menurut Aristoteles (384 – 322 SM), manusia adalah mahluk
yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia
lainnya (zoon politicon yang artinya mahluk yang selalu hidup bermasyarakat).
Pada diri manusia sejak dilahirkan sudah memiliki hasrat/bakat/naluri yang kuat
untuk berhubungan atau hidup di tengah-tengah manusia lainnya. Naluri manusia untuk
hidup bersama dengan manusia lainnya disebut gregoriousness. Manusia berperan
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang dapat dibedakan melalui hak dan
kewajibannya. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena manusia merupakan
bagian dari masyarakat. Hubungan manusia sebagai individu dengan masyarakatnya
terjalin dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Oleh karena itu
harkat dan martabat setiap individu diakui secara penuh dalam mencapai
kebahagiaan bersama.
Masyarakat merupakan wadah bagi para individu untuk
mengadakan interaksi sosial dan interelasi sosial. Interaksi merupakan
aktivitas timbal balik antarindividu dalam suatu pergaulan hidup bersama.
Interaksi dimaksud, berproses sesuai dengan perkembangan jiwa dan fisik manusia
masing-masing serta sesuai dengan masanya. Pada masa bayi, mereka berinteraksi
dengan keluarganya melalui berbagai kasih sayang. Ketika sudah bisa berbicara
dan berjalan, interaksi mereka meningkat lebih luas lagi dengan teman-teman
sebayanya melalui berbagai permainan anak-anak atau aktivitas lainnya. Proses
interaksi mereka terus berlanjut sesuai dengan lingkungan dan tingkat usianya,
dari mulai interaksi non formal seperti berteman dan bermasyarakat sampai
interaksi formal seperti berorganisasi, dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi manusia hidup bermasyarakat, yaitu: faktor alamiah atau kodrat
tuhan, faktor saling memenuhi kebutuhan, dan faktor saling ketergantungan.
Keberadaan semua faktor tersebut dapat diterima oleh akal
sehat setiap manusia, sehingga manusia itu benar-benar bermasyarakat,
sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Khaldun bahwa hidup bermasyarakat itu bukan
hanya sekadar kodrat Tuhan melainkan juga merupakan suatu kebutuhan bagi jenis
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. ika tingkah laku timbal balik
(interaksi sosial) itu berlangsung berulang kali dan terus menerus, maka
interaksi ini akan berkembang menjadi interelasi sosial. Interelasi sosial
dalam masyarakat akan tampak dalam bentuk sense of belonging yaitu suatu perasaan
hidup bersama, sepergaulan, dan selingkungan yang dilandasi oleh rasa
kemanusiaan yang beradab, kekeluargaan yang harmonis dan kebersatuan yang
mantap.
2. Pengaruh Budaya pada Komunikasi
Komunikasi
merupakan pusat dari seluruh sikap ,perilaku dan tindakan yang trampil dari
manusia ( communication involves both attides and skills ). Manusia tidak bisa
dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi dengan cara melalui
pertukaran informasi ,ide-ide, gagasan,maksud serta emosi yang dinyatakan dalam
simbul simbul dengan orang lain.
Komunikasi
pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat
penuturnya karena selain merupakan fenomena sosial, komunikasi juga merupakan
fenomena budaya. Sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan suatu bentuk
perilaku sosial yang digunakan sebagai sarana komunikasi dengan melibatkan
sekurang-kurangnya dua orang peserta. Oleh karena itu, berbagai faktor sosial
yang berlaku dalam komunikasi, seperti hubungan peran di antara peserta
komunikasi, tempat komunikasi berlangsung, tujuan komunikasi, situasi
komunikasi, status sosial, pendidikan, usia, dan jenis kelamin peserta
komunikasi, juga berpengaruh dalam penggunaan bahasa.
Sementara
itu, sebagai fenomena budaya, komunikasi selain merupakan salah satu unsur
budaya, juga merupakan sarana untuk mengekspresikan nilai-nilai budaya
masyarakat penuturnya. Atas dasar itu, pemahaman terhadap unsur-unsur budaya
suatu masyarakat–di samping terhadap berbagai unsur sosial yang telah
disebutkan di atas–merupakan hal yang sangat penting dalam mempelajari suatu
komunikasi. Hal yang sama berlaku pula bagi komunikasin di Indonesia. Oleh
karena itu, mempelajari bahasa Indonesia–lebih-lebih lagi bagi para penutur
asing–berarti pula mempelajari dan menghayati perilaku dan tata nilai sosial
budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia.
Kenyataan
tersebut mengisyaratkan bahwa dalam pengajaran komunikasi, sudah semestinya
pengajar tidak terjebak pada pengutamaan materi yang berkenaan dengan
aspek-aspek kebahasaan semata, tanpa melibatkan berbagai aspek sosial budaya
yang melatari penggunaan bahasa. Dalam hal ini, jika pengajaran bahasa itu
hanya dititikberatkan pada penguasaan aspek-aspek kebahasaan semata, hasilnya
tentu hanya akan melahirkan siswa yang mampu menguasai materi, tetapi tidak
mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. Pengajaran bahasa yang
demikian tentu tidak dapat dikatakan berhasil, lebih-lebih jika diukur dengan
pendekatan komunikatif. Dengan perkataan lain, kemampuan berkomunikasi secara
baik dan benar itu mensyaratkan adanya penguasaan terhadap aspek-aspek kebahasaan
dan juga pengetahuan terhadap aspek-aspek sosial budaya yang menjadi konteks
penggunaan komunikasi.
3.
Pengaruh
Budaya pada Gender
Gender adalah peran dan tanggung jawab perempuan dan
laki-laki yang ditentukan secara social. Gender berhubungan dengan persepsi dan
pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai perempuan dan laki-laki yang
dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis (WHO, 1998).
Berikut ini ada bebrapa pengaruh gender pada budaya,
diantaranya:
a)
Setiap masyarakat mengharapkan wanita
dan pria untuk berpikir, berperasaan dan bertindak dengan pola-pola tertentu
dengan alas an hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita/pria. Contohnya
wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan, membawa air dan kayu bakar, merawat
anak-anak dan suami. Sedangkan pria bertugas memberikan kesejahteraan bagi
keluarga di masa tua serta melindungi keluarga dari ancaman.
b) Gender dan
kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin, semuanya adalah hasil rekayasa
masyarakat. Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan dan merawat anak
adalah dianggap sebagai “kegiatan wanita”. Kegiatan lain terkait dengan gender
seseorang tidak sama dari satu daerah ke daerah lain diseluruh dunia,
tergantung pada kebiasaan, hukum dan agama yang dianut oleh masyarakat tertentu.
c) Peran jenis
kelamin bahkan bisa tidak sama didalam suatu masyarakat, tergantung pada
tingkat pendidikan, suku dan umurnya, contohnya : di dalam suatu masyarakat,
wanita dari suku tertentu biasanya bekerja menjadi pembantu rumah tangga,
sedang wanita lain mempunyai pilihan yang lebih luas tentang pekerjaan yang
bisa mereka pegang.
d) Peran gender
diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak berusia
muda, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda,
meskipun kadang tanpa mereka sadari
Pengaruh Budaya pada Organisasi dan Kerja
4/
5
Oleh
fuadi