1.
Keanekaragaman
Klien dalam Masyarakat Plural
Vontress (1986, dalam
Baruth & Manning, 1991) menyarankan bahwa konselor seharusnya ingat bahwa
kebanyakan klien adalah multicultural dalam perasaan atau pikiran (sense)
mereka yang telah dipengaruhi oleh sedikitnya lima kultur, diantaranya:
a) Universal
: Manusia di seluruh penjuru dunia ini secara biologis mirip; missal : pria dan
wanita adalah mampu untuk memproduksi keturunan dan melindungi serta menjamin berlangsungnya
keturunan.
b) Ekologis
: Lokasi atau tempat manusia di atas bumi menentukan bagaimana mereka berhubungan dengan lingkungan yang
alami itu.
c) Nasional
: Manusia ditandai oleh bahasa mereka, politik mereka dan pandangan dunia
mereka.
d) Regional
: Manusia cenderung untuk menempati suatu daerah, dengan begitu menciptakan
kultur area-specific.
e) Racial-Ethic
: Manusia memmpunyai perbedaan kesukuan dan rasial tertentu; sehingga semua
orang mencerminkan latar belakang kesukuan rasial mereka.
Menurut
Vontress, lima kultur ini membentuk kekuatan-kekuatan social yang mempengaruhi
cara klien mempersepsi permasalahan mereka, kemungkinan pemecahan dan proses
konseling.
2.
Konseling
dan Budaya
Dalam
melaksanakan konseling Multikultural ada beberapa prinsip yang harus dijalankan
secara sinergis oleh konselor, konseli, dan proses konseling yang melibatkan
kedua pihak secara timbal balik. Sebagai inisiator dan pihak yang membantu,
konselor wajib memahami prinsip-prinsip tersebut dan mengaplikasikannya, dalam
proses konseling. Adapun prinsip-prinsip dasar yang dimaksud adalah sebagai
berikut (Draguns, 1989):
a)
Untuk konselor:
-
Kesadaran diri dan pengertian tentang
sejarah kelompok budayanya sendiri dan mengalami.
-
Kesadaran diri dab pengertian tentang
pengalaman diri sendiri di lingkungan arus besar kulturnya.
-
Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan
diri sendiri pribadi dan nilai-nilai yang dimilikinya.
b)
Untuk pemahaman konseli:
-
Kesadaran dan pengertian/pemahaman
tentang sejarah dan pengalaman budaya konseli yang dihadapi.
-
Kesadaran perceptual akan pemahaman dan
pengalaman dalam lingkungan kultur dari konseli yang dihadapi.
-
Kepekaan perceptual terhadap kepercayaan
diri konseli dan nilai-nilainya.
c)
Untuk proses konseling:
-
Hati-hati dalam mendengarkan secara
aktif, konselor harus dapat menunjukkan baik secara verbal maupun nonverbal
bahwa ia memahami yang dibicarakan konseli, dan dapat mengkomunikasikan
tanggapannya dengan baik sehingga dapat dipahami oleh konseli.
-
Memperhatikan konseli dan situasinya
seperti konselor memperhatikan dirinya dalam situasi tersebut, serta memberikan
dorongan optimisme dalam menemukan solusi yang realistis.
-
Mempersiapkan mental dan kewaspadaan
jika tidak memahami pembicaraan konseli dan tidak ragu-ragu memintak
penjelasan. Dengan tetap memelihara sikap sabar dan optimis.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menuntut konselor dapat memahami secara baik tentang situasi budayanya dan budaya konseli, serta memiliki kepekaan konseptual terhadap respon yang diberikan konseli, sehingga dapat mendorong optimisme, dalam mendapatkan solusi yang realistis. Konselorpun harus memiliki sikap sabar, optimis dan waspada jika tidak dapat memahami pembicaraan konseli serta tidak ragu-ragu memintak penjelasan agar proses konseling berjalan efektif.
3.
Karakteristik
Konselor Multikultural yang Efektif
Untuk
dapat melaksanakan proses konseling multikultural secara efektif, konselor
multikultural dituntut memiliki beberapa kemampuan atau kompetensi. Sue (1978), menyebutkan kemampuan-kemampuan
yang harus dimiliki oleh konselor multicultural sebagai berikut :
a)
Mengenali nilai dan asumsi tentang
perilaku yang diinginkan dan tidak diingikan.
b)
Memahami karakteristik umum tentang
konseling.
c)
Tanpa menghilangkan peranan utamanya
sebagai konselor ia harus dapat berbagi pandangan dengan konselinya.
d)
Dapat melaksanakan proses konseling
secara efektif.
Selain ke empat aspek tersebut, dalam
artikelnya pada tahun 1981, Sue menambahkan beberapa kompetensi yang harus
dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
a)
Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap
budayanya.
b)
Menyadari perbedaan budaya antara
dirinya dengan konseli serta mengurangi efek negative dari perbedaan atau
kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
c)
Merasa nyaman dengan perbedaan antara
konselor dengan konseli baik menyangkut ras maupun kepercayaan.
d)
Memiliki informasi yang cukup tentang
cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli yang akan ditangani.
e)
Memiliki pemahamn dan keterampilan
tentang konseling dan psikoterapi.
f)
Mampu memberikan respon yang tepat baik
secara verbal maupun non verbal.
g)
Harus dapat menerima dan menyampaikan
pesan secara teliti dan tepat baik verbal maupun non verbal.
Sebelas
kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti
dikemukakaan Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu :
Pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian seorang konselor
multicultural harus memiliki pengetahuan tentang teknik konseling dan social
budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta keterampilan dalam
memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar budaya yang
berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami ciri-ciri
khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta
mampu menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Konseling dan Psikoterapi Multikultural
4/
5
Oleh
fuadi