1.
Ekspresi
Budaya
Banyak perilaku budaya yang terlibat dalam relasi konseling
dan mempengaruhi efektivitas konseling. Dalam menciptakan rapport (hubungan yang kondusif) dengan klien, antara lain melalui
penataanlingkungan konseling dan memahami bahasa non-verbal. Fakta bahwa
ekspresi budaya bukan hanya dinyatakan dalam bentuk komunikasi verbal,
melainkan dalam bahasa non-verbal.
Dalam konsleing lintas budaya, bahasa non-verbal bisa
menjadi sumber kesalahan komunikasi atau
justru memperlancar bila dipahami dengan baik. (Freedman, 2001)
Bahasa non-verbal dinyatakan dalam berbagai ekspresi :
a) Proxemics (batas-batas jarak untuk
komunikasi)
b) Kinesics (bahasa isyarat badan,
muka, mata)
c) Chronemics (persepsi tentang waktu)
d) Paralanguage (nada suara)
e) Silence (arti diam)
f) Haptics (sentuhan fisik)
g) Olfactics (komunikasi melalui indra
penciuman)
h) Oculesics (isyarat mata)
i)
Cara
berpakaian dan penampilan
Perbedaan dalam bahasa non-verbal
bukan hanya terjadi antara Barat dan Timur, melainkan dalam subkultur
masung-masing budaya tersebut. Penggunaan sentuhan sebagai cara untuk
memotivasi klien dalam konseling (misalnya menepuk bahu atau menyentuh tangan)
juga secara kental mengandung muatan budaya.
Kesalahpahaman dapat terjadi apabila
pihak yang berkomunikasi berasal dari budaya yang berbeda dan memiliki bahasa
non-verbal yang berbeda pula, tanpa saling memahami. Dalam konseling lintas
budaya bahasa non-verbal menjadi persoalan yang harus diperhatikan oleh
konselor.
2.
Bias
Budaya dan Konselor Peka Budaya
a)
Konselor
Peka Budaya
Budaya merupakan sesuatu yang ada dalam setiap diri individu, tidak
ada individu yang tidak memiliki budaya, oleh karena itu konselor yang peka
budaya sangat dibutuhkan dalam pelayanan konseling. Adapun pengertian dari
konselor peka budaya itu sendiri adalah konselor yang menyadari bahwa secara
kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan kedalam proses konseling
individu membawa karakteristik unik tersebut.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap
terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antara klien yang
satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya.
Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Karena, budaya
yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam
kehidupan sehari-hari, masalah bisa
muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya, dan sangat mungkin
masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur
kebudayan yaitu budaya yang
dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta
tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
b)
Konselor bias
budaya
Ke dalam
proses konseling, konselor maupun klien membawa serta
karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap,
motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. Sejauh ini di
Indonesia banyak diberikan terhadap aspek-aspek psikologi tersebut (terutama
pada pihak klien), dan masih kurang perhatian diberikan terhadap latar belakang
budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan
efektivitas proses konseling (Bolton-Brownlee, 1987 dalam Supriadi, 2001).
Misalnya, etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma,
kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal dan termasuk bias-bias budaya yang
dibawa dari budayanya. Dapat diasumsikan bahwa semakin banyak kesesuaian (congruence)
antara konselor dengan klien dalam hal-hal tersebut (baik psikologi maupun
sosial-budaya), maka akan semakin besar kemungkinan konseling akan berjalan
efektif, dan demikian sebaliknya.
Dari
penelitian Harrison (Athinson,1985:193) diketahui misalnya bahwa konseli/klien
cenderung lebih menyukai konselor dari ras yang sama. Hal ini sesuai dengan apa
yang ada dalam komunikasi disebut dengan heterophily dan homophily (Rogers,
1983:18-19). Menurut dia, komunikasi yang efektif terjadi apabila dua individu
memilki dua kesamaan. Sebaliknya, komunikasi yang terjadi diantara dua pihak
yang memiliki banyak perbedaan sulit untuk berjalan efektif. Ras dan etnis
merupakan identitas dasar yang secara tidak disadari mengikat individu-individu
dalam kelompok etnis/ras yang bersangkutan, yang oleh Carl Gustav Jung (Hall
& Lindzey, 1970:83-84) disebut “ketidaksadaran kolektif” yang bersifat
primordial dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Efektivitas
proses konseling juga dipengaruhi oleh sifat-sifat psikologis yang terkait
dengan latar belakang etnik/budaya konselor. Triandis (1986) yang dianggap
sebagai pelopor psikologi lintas budaya mendekati isu konseling lintas budaya
dari segi perbedaan budaya indivdualistik dan kolektif. Budaya individualistik
adalah ciri masyarakat Barat, sedangkan budaya Timur dan Amerika Latin adalah
kolektif.
c)
Perbedaan
konselor peka budaya dengan konselor bias budaya
Adapun
karakteristik konselor peka budaya sebagai berikut :
- Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan
asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
Konselor sadar
bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus
dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa klien memiliki
nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor
harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
- Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum
Konselor
memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling secara umum sehingga akan
membantunya dalam melaksanakan konseling,
sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling.
Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam
memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
- Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan mereka
mempunyai perhatian terhadap lingkungannya
Konselor dalam
melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk
menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan
keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terelebih apabila konselor
melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis
dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
Ciri-ciri Pelayanan Konseling yang Bias Budaya adalah sebagai berikut:
-
Pelayanan
konseling yang bias budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien
mempunyai perbedaan.
-
Konselor
sadar bahwa latar belakang kebudayaan yang dimilikinya.
-
Konselor
mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya
-
Konselor
merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk
ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan.
Jadi, dapat disimpulkan
pebedaan konselor peka budaya dengan konselor bias budaya yaitu konseling
lintas budaya mengharuskan
konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan
budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara
konselor sendiri dengan kliennya. Konseling
lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh
terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling
tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk
memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti
dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki
keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka
konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter)
antara konselor dan klien.
Konteks Budaya dalam Bimbingan dan Konseling
4/
5
Oleh
fuadi