Saturday, April 16, 2016

BUDAYA DAN PROSES-PROSES DASAR PSIKOLOGIS

1.      Kognisi Manusia
Kognisi sebenarnya adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah masukan-masukan dari indra menjadi pengetahuan. Proses-proses ini mencakup persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya.
Meski kita mungkin mengira bahwa semua manusia mempunyai proses-proses mental dasar yang mirip, anda akan melihat bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda mengorganisir, menyampaikan, dan merespon informasi secara berbeda-beda. Mereka juga berbeda dalam hal sejauh mana mereka berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan praktis tertentu dan dalam tingkat pendidikan formal gaya Eropa.
2.      Persepsi Manusia
Persepsi adalah tentang memahami bagaimana kita menerima stimulus dari lingkungan dan bagaimana kita memproses stimulus tersebut. Secara lebih spesifik, sensasinya biasanya  mengacu pada stimulus atau perangsangan nyata pada organ-organ indera tertentu – mata (system visual), telinga (system pendengaran atau auditori), hidung (sistem penciuman atau olfaktori), lidah (pengecapan atau rasa), dan kulit (sentuhan). Persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang berasal dari organ yang terstimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Pendek kata, persepsi mengacu pada proses di mana informasi inderawi diterjemahjkan menjadi sesuatu yang bermakna.
Penelitian lintas-budaya di bidang sensasi dan persepsi belum sebanyak bidang psikologi lain seperti perkembangan, perkembangan kognitif dan intelegensi, emosi, dan psikologi sosial.
3.      Budaya dan Kognisi
Salah satu proses dasar kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi umumnya dilakukan atas adasar persamaan dan perbedaan karakter dan obyek-obyek dimaksud. Selain itu, fungsi obyek juga merupakan determinan utama dari proses kategorisasi. Misal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukan dalam kategorisasi karena kesamaanbentuknya dan fungsinya byaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak bisa kita kategorikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bisa di anggap sama namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas, sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bisa dihitung sejumlah jari tangan.
Orang dengan latar budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk dasarnya, semacam : segitiga sama sisi, lingkaran, dan segiempat. Hal ini berbeda kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang tidak beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan  kategorisasi melalui stimulus dasar tertentu, dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna dan ekspresi muka (Berry, 1999).
4.      Intelegensi
Kata inteligensi atau kecerdasan berasal dari kata latin intellegentia, yang pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero, Dalam pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian, talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi), kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu peristiwa dan melogikanya).
Banyak teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan – tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan componential. Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru dan mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Perbedaan Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari nilai – nilai budaya tersebut.
Dalam bahasa Cina, kecerdasan dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang terlingkup di dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab secara sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering sering diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada di suku Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi yaitu n’gloule yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam (waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen, 1985).
Perbedaan pemaknaan ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi orang Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi sosial. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada kesulitan pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada budaya yang lain (matsumoto, 1996)
Dengan demikian, adanya perbedaan dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa yang disebut dengan intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi, kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor – factor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat China.
Permasalahan kedua yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi manusia adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi terhadap anak – anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami kemajuan kognitif melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya, kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan penelitian.
Penelitian Perez (1988) melakukan pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap tertentu.
Kajian lintas budaya juga membuktikan bahwa kemampuan berpikir abstrak atau penalaran ilmiah yang diasuksikan oleh Piaget sebagai titik akhir perkembangan kognitif ternyata tidak berlaku secara universal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai dan pemberian penghargaan masyarakat pada skill dan tertentu.


Artikel Terkait

BUDAYA DAN PROSES-PROSES DASAR PSIKOLOGIS
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email