1.
Kognisi
Manusia
Kognisi sebenarnya
adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang mengubah
masukan-masukan dari indra menjadi pengetahuan. Proses-proses ini mencakup
persepsi, pemikiran rasional, dan seterusnya.
Meski kita mungkin mengira
bahwa semua manusia mempunyai proses-proses mental dasar yang mirip, anda akan
melihat bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda mengorganisir, menyampaikan,
dan merespon informasi secara berbeda-beda. Mereka juga berbeda dalam hal
sejauh mana mereka berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan praktis tertentu
dan dalam tingkat pendidikan formal gaya Eropa.
2.
Persepsi
Manusia
Persepsi adalah tentang
memahami bagaimana kita menerima stimulus dari lingkungan dan bagaimana kita
memproses stimulus tersebut. Secara lebih spesifik, sensasinya biasanya
mengacu pada stimulus atau perangsangan nyata pada organ-organ indera tertentu
– mata (system visual), telinga (system pendengaran atau auditori), hidung
(sistem penciuman atau olfaktori), lidah (pengecapan atau rasa), dan kulit
(sentuhan). Persepsi biasanya dimengerti sebagai bagaimana informasi yang
berasal dari organ yang terstimulasi diproses, termasuk bagaimana informasi
tersebut diseleksi, ditata, dan ditafsirkan. Pendek kata, persepsi mengacu pada
proses di mana informasi inderawi diterjemahjkan menjadi sesuatu yang bermakna.
Penelitian
lintas-budaya di bidang sensasi dan persepsi belum sebanyak bidang psikologi
lain seperti perkembangan, perkembangan kognitif dan intelegensi, emosi, dan
psikologi sosial.
3.
Budaya
dan Kognisi
Salah satu proses dasar
kognisi adalah cara bagaimana orang melakukan kategorisasi. Kategorisasi
umumnya dilakukan atas adasar persamaan dan perbedaan karakter dan obyek-obyek
dimaksud. Selain itu, fungsi obyek juga merupakan determinan utama dari proses
kategorisasi. Misal, ketika kita melakukan kategorisasi mengenai buku. Ada
bermacam-macam buku mulai dari buku cerita, buku tulis, buku pelajaran hingga
buku mewarnai untuk anak-anak. Semuanya kita masukan dalam kategorisasi karena
kesamaanbentuknya dan fungsinya byaitu tempat menuliskan sesuatu. Kertas tidak
bisa kita kategorikan ke dalam buku karena meskipun fungsinya bisa di anggap sama
namun dalam hal bentuk sangat berbeda. Buku tersusun atas banyak lembar kertas,
sedang kertas tersusun atas satu lembar atau bisa dihitung sejumlah jari
tangan.
Orang dengan latar
budaya manapun juga cenderung melakukan kategorisasi bentuk benda (shapes) dalam kerangka bentuk-bentuk
dasarnya, semacam : segitiga sama sisi, lingkaran, dan segiempat. Hal ini
berbeda kategorisasi dilakukan terhadap bentuk-bentuk geometris yang tidak
beraturan. Penemuan dalam lintas budaya ini membuktikan bagaimana factor
psikologis mempengaruhi pada bagaimana manusia melakukan kategorisasi melalui stimulus dasar tertentu,
dalam hal ini yang sudah terungkap adalah dalam bentuk, warna dan ekspresi muka
(Berry, 1999).
4.
Intelegensi
Kata
inteligensi atau kecerdasan berasal dari kata latin intellegentia, yang
pertama kali digunakan oleh seorang ahli pidato dari Romawi yaitu Cicero, Dalam
pandangan orang Amerika, inteligensi adalah sejumlah kemampuan, keahlian,
talenta, dan pengetahuan, yang keseluruhannya merujuk pada kemampuan kognitif
dan proses mental. Yang terlingkup dalam inteligensi adalah memori (seberapa
baik dan seberapa banyak serta seberapa lama kita mengingat suatu informasi),
kekayaan kosakata (beberapa banyak kosakata yang kita gunakan dan mampu gunakan
dengan tepat), kemampuan komprehensif (seberapa baik kita memahami serangkaian
ide dan pernyataan), kemampuan matematis (penambahan, pembagian dan
sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik kita menangkap keurutan suatu
peristiwa dan melogikanya).
Banyak
teori yang telah dibangun para psikolog untuk menjelaskan intelegensi. Mulai
dari yang klasik, Piaget yang melihat inteligensi berkembang dalam tahapan –
tahapan yang jelas hingga Sternberg (1986) yang membagi inteligensi dalam tiga
komponen besar, yaitu kecerdasan contextual, experiential, dan componential.
Kecerdasan contextual adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan suatu
lingkungan, memecahkan masalah dalam suatu situasi yang spesifik. Kecerdasan
experentiql merujuk pada kemampuan untuk merumuskan ide – ide baru dan
mengkombinasikan fakta – fakta yang saling tidak berhubungan. Sedangkan
kecerdasan componential dipahami sebagai kemampuan berpikir abstrak, memproses
informasi, dan memutuskan apa yang harus dilakukan.
Perbedaan
Budaya dalam Memahami Inteligensi
Ketika kajian
masalah inteligensi dibawa melintas budaya, masalah yang pertama ditemukan
ternyata bahwa tidak semua budaya dalam bahasanya memiliki kosakata yang
memiliki makna sama dengan makan inteligensi yang selama ini dipahami para
psikolog Barat. Diyakini perbedaan pendefinisian ini merupakan refleksi dari
nilai – nilai budaya tersebut.
Dalam bahasa Cina,
kecerdasan dipahami sebagai otak yang baik dan bertalenta, kemampuan yang
terlingkup di dalamnya adalah kemampuan meniru, berusaha, dan bertanggung jawab
secara sosial. Komponen – komponen ini dalam konsep psikologi Barat sering
sering diabaikan sebagai komponen inteligensi. Contoh lain adalah apa yang ada
di suku Baganda Afrika Timur. Mereka menggunakan kata obugezi yang merujuk pada
kombinasi kemampuan mental dan sosial yang menjadikan seseorang kokoh, berhati
hati, dan bersahabat (Wober, 1974). Djerma Sonhar di Afrika Barat menggunakan
istilah yang memiliki makna yang luas, lakkal yang merupakan kombinasi dari
pintar, mengetahui bagaimana dan ketrampilan sosial. Pada suku Baoule, Afrika
Barat, terdapat kosakata yang memiliki arti paling dekat dengan intelegensi
yaitu n’gloule yang dipahami sebagai seseorang yang bermental tajam
(waspada) sekaligus sukarela memberikan pelayanan mereka tanpa diminta(Dasen,
1985).
Perbedaan pemaknaan
ini menjadikan usaha pengkajian dan perbandingan intelegensi dalam kerangka
lintas budaya menjadi sangat sulit. Apa yang dikatakan sebagai kecerdasan bagi
orang Bara adalah kemampuan matematika, namun tidak bagi orang suku lain yang
mungkin menganggap kecerdasan adalah kemampuan berburu atau melakukan adaptasi
sosial. Kesulitan perumusan definisi kecerdasan ini juga berimplikasi pada
kesulitan pengukuran intelegensi yang pada suatu budaya tetapi tidak pada
budaya yang lain (matsumoto, 1996)
Dengan demikian,
adanya perbedaan dalam skor inteligensi diantara kelompok – kelompok budaya
barangkali merupakan akibat atau hasil dari (1) perbedaan keyakinan tentang apa
yang disebut dengan intelegensi itu atau (2) ketidaktepatan pengukuran
intelegensi terkait budaya. Beberapa tes mungkin tidak mengukur motivasi,
kreativitas, atau keterampilan sosial, yang mana hal – hal ini adalah factor –
factor penting dalam intelegensi menurut definisi masyarakat China.
Permasalahan kedua
yang menarik perhatian para pemerhati psikologi lintas budaya adalah apakah
perkembangan intelegensi manusia berlangsung dalam tahapan yang universal dalam
lintas budaya. Salah satu teori yang menjelaskan perkembangan intelegensi
manusia adalah teori Piaget. Piaget mendasarkan teorinya pada observasi
terhadap anak – anak Swiss. Piaget mengemukakan bahwa anak – anak mengalami
kemajuan kognitif melalui 4 tahap sejak mereka bayi sampai dewasa. Umumnya,
kajian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan kedua di atas adalah
berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat Eropa. Apakah teori Piaget juga
mampu menjelaskan tahap perkembangan intelegensi pada anak – anak yang dating
dari non – Eropa adalah pertanyaan yang muncul dan merangsang Perez melakukan
penelitian.
Penelitian Perez
(1988) melakukan pengetesan pada anak – anak di Ingrris, Australia, Yunani dan Pakistan
menunjukkan bahwa anak – anak sekolah dalam masyarakat yang berbeda menampilkan
pencapaian kemampuan di rentang usia yang sama sampai tahap operasional
konkrit. Meskipun demikian, berdasarkan studi komparatif pada anak – anak suku
Inuit di kanada, Baoul di Afrika, dan Aranda di Australia, ada variasi budaya
dalam usia dimana anak – anak pada masyarakat yang berbeda mencapai tahap
tertentu.
BUDAYA DAN PROSES-PROSES DASAR PSIKOLOGIS
4/
5
Oleh
fuadi