Tugas Makalah Ujian Tengah Semester
Psikologi Lintas Budaya :
Budaya Karapan Sapi Madura
Oleh :
Aisyah Humairoh 09.640.001
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2010
ABSTRAK
Tulisan ini akan menjelaskan mengenai budaya Jarapan Sapi di Madura sebagai contoh adanya kekhas-an budaya di suat daerah yang tidak dimiliki oleh budaya di daerah lainnya.
Karapan Sapi (bulls race) sangat ‘kental’ Madura, walaupun di daerah lain juga mulai banyak ditiru. Karapan ini di pulau Madura sangat terkenal, awalnya adalah untuk menyambut musim tanam padi, dengan maksud membangun komunikasi dan informasi saat tanam, ketika hujan mulai jatuh di beberapa bagian pulau. Semua bagian masyarakat biasanya terlibat dan bergembira, baik pemilik sapi maupun pemilik tegal/sawah, walaupun Sebenarnya jarang masyarakat di Madura memiliki bersama-sama kedua barang ‘mewah’ tersebut.
Sawah di Madura sangat terkenal karena hanya ditanami padi 1 kali selama setahun (tadah hujan), demikian juga Sapi Madura juga sangat terkenal, selain di lindungi oleh pemerintah karena jenisnya yang istimewa (sapi betina Madura tidak boleh dibawa keluar pulau) juga larinya sangat kencang. Mereka membangun komunitas social dan pekerjaan yang solit diantara masing-masing kelompok.
BAB I
PENDAHULUAN
Gambaran Umum Pulau Madura
Pulau Madura dapat ditempuh hanya 20-30 menit dengan memakai kapal feri dari Surabaya (Pulau Jawa) atau hanya berjarak lebih kurang 1,5 mil laut. Tetapi keduanya memiliki perbedaan seperti ‘Bumi dengan Langit’ orang mengatakan pulau ini seperti ‘black hole’ semua yang masuk akan terserap tapi tidak ada bekasnya (sisa pengaruh).
Gugusan pulaunya mencapai 70-an, diantaranya Pulau Pagerungan (pusat minyak dan gas bumi), Pulau Masalembo (Kapal Tampomas) Pulau Madura sebagai pusatnya. Tanahnya tandus, jarang hujan, tanah berbukit kapur tertinggi 471M (G.Tamberu), juga dikenal sebagai Pulau Garam atau Pulau Kapur. Alam dan ekonominya kurang menguntungkan makanan pokok jagung (dahulu) menyebabkan diaspora/migrasi, tujuan utama Kalimantan, Malaysia, Timur Tengah, dan hingga Afrika.
Salah satu penggerak ekonomi tradisional rakyatnya terdapat system Paron Sapi (ngowan) tetapi di Madura tidak sama dengan sistim bagi hasil sapi (ternak) di daerah lain. Selain ruwet, karena sapi memiliki nilai ekonomi dan social yang tinggi di masyarakat sana juga resiko pencurian, santet sapi, dan jenis kejahatan lainnya. Sepasang sapi di Pulau Madura dapat mencapai harga 100 juta rupiah. Ngowan ada 2 macam, pertama (ngowan) paron buduk; kedua paron ontong keduanya juga melibatkan hubungan dengan pihak lainnya lagi, yaitu: (tokang) tk. ngebir, tk. ngobing atau tk. tonton dan berakhir di tokang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebudayaan sendiri oleh Selo Soemardjan dan Soeleman Somardi diartikan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Dan antropolog E.B Taylor (1871) pernah mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Emic sendiri berarti keunikan budaya yang khas dimiliki suatu daerah yang merupakan titik pandang studi perilaku dari dalam system budaya tersebut. Dan definisi sederhananya adalah aspek kehidupan yang muncul hanya pada satu budaya tertentu.
BAB III
PEMBAHASAN
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.
Versi lainnya mengatakan bahwa Karapan Sapi merupakan kesenian yang pada mulanya berasal dari Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep atas prakarsa dari Pangeran Katandur pada akhir abad 13.
Awalnya ingin memanfaatkan tenaga memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.
Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.
Karena Pangeran Ketandur tidak pernah diam, ada saja yang ingin dilakukan untuk memajukan warga masyarakatnya. Setiap hari ia melihat sapi-sapi itu tenaganya hanya dimanfaatkan membajak sawah, sesudahnya berdiam diri dikandangnya. Melihat keadaan itulah, maka Pangeran Ketandur lalu mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan "Kerapan Sapi".
Macam-macam Kerapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.
2. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.
3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.
4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.
Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).
Jalannya Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.
Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.
Nilai budaya
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.
Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
BAB IV
KESIMPULAN
Semakin pesatnya pertumbuhan media belakangan ini membuat Karapan Sapi kurang di ekspos sebagai kebudayaan unik yang ada di Madura. Sudah semestinya kita warga Indonesia berapresiasi penuh terhadap keunikan budaya ini. Mengingat asal – usul lahirnya Karapan Sapi sebagai tanda usai panen di kalangan masyarakat Madura atau bias dikatakan pesrta rakyat khas Madura.
Dengan adanya kekhasan budaya ini semakin menunjukkan budaya Indonesia yang memang beranearagam, dan kebudayaan ini juga mempunyai nila budaya kebersamaan dan sportifitas, seperti halnya filosofi yang pernah kita dengan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu.
Daftar Pustaka
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Grafindo Persada
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
http://obyek-wisata-kerapan-sapi-madura.html
http://kebudayaan-madura.html
http://www.my-indonesia.info/
Lampiran
Kerap Raja (Kerapan Besar)
Kerapan besar ini disebut juga kerap negara, umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Ukuran lapangan 120 meter. Pesertanya adalah juara-juara kecamatan atau kewedanaan.
Kerap Onjangan (Kerapan Undangan)
Kerapan undangan adalah pacuan khusus yang diikuti oleh peserta yang diundang baik dari dalam kabupaten maupun luar kabupaten. Kerapan ini diadakan menurut waktu keperluan atau dalam acara peringatan hari-hari tertentu.
Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesdenan diadakan di kotaPamekasan pada hari Minggu, merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan latihan tidak tertentu harinya, bisa diadakan pada setiap hari selesai dengan keinginan pemilik atau pelatih sapi-kerap itu. Pesertanya adalah sapi lokal.
Persyaratan sapi-kerap tidaklah banyak, asalkan sapinya kuat dan diberi makanan yang cukup, dilatih lari, dipertandingkan dan diiringi dengan musik saronen. Konon beberapa pemilik sapi-kerap juga melengkapi kehebatan sapinya dengan menggunakan mantra-mantra serta sajian tertentu. Sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan dalam aturan sebuah lomba atau kerapan.
Psikologi Lintas Budaya :
Budaya Karapan Sapi Madura
Oleh :
Aisyah Humairoh 09.640.001
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2010
ABSTRAK
Tulisan ini akan menjelaskan mengenai budaya Jarapan Sapi di Madura sebagai contoh adanya kekhas-an budaya di suat daerah yang tidak dimiliki oleh budaya di daerah lainnya.
Karapan Sapi (bulls race) sangat ‘kental’ Madura, walaupun di daerah lain juga mulai banyak ditiru. Karapan ini di pulau Madura sangat terkenal, awalnya adalah untuk menyambut musim tanam padi, dengan maksud membangun komunikasi dan informasi saat tanam, ketika hujan mulai jatuh di beberapa bagian pulau. Semua bagian masyarakat biasanya terlibat dan bergembira, baik pemilik sapi maupun pemilik tegal/sawah, walaupun Sebenarnya jarang masyarakat di Madura memiliki bersama-sama kedua barang ‘mewah’ tersebut.
Sawah di Madura sangat terkenal karena hanya ditanami padi 1 kali selama setahun (tadah hujan), demikian juga Sapi Madura juga sangat terkenal, selain di lindungi oleh pemerintah karena jenisnya yang istimewa (sapi betina Madura tidak boleh dibawa keluar pulau) juga larinya sangat kencang. Mereka membangun komunitas social dan pekerjaan yang solit diantara masing-masing kelompok.
BAB I
PENDAHULUAN
Gambaran Umum Pulau Madura
Pulau Madura dapat ditempuh hanya 20-30 menit dengan memakai kapal feri dari Surabaya (Pulau Jawa) atau hanya berjarak lebih kurang 1,5 mil laut. Tetapi keduanya memiliki perbedaan seperti ‘Bumi dengan Langit’ orang mengatakan pulau ini seperti ‘black hole’ semua yang masuk akan terserap tapi tidak ada bekasnya (sisa pengaruh).
Gugusan pulaunya mencapai 70-an, diantaranya Pulau Pagerungan (pusat minyak dan gas bumi), Pulau Masalembo (Kapal Tampomas) Pulau Madura sebagai pusatnya. Tanahnya tandus, jarang hujan, tanah berbukit kapur tertinggi 471M (G.Tamberu), juga dikenal sebagai Pulau Garam atau Pulau Kapur. Alam dan ekonominya kurang menguntungkan makanan pokok jagung (dahulu) menyebabkan diaspora/migrasi, tujuan utama Kalimantan, Malaysia, Timur Tengah, dan hingga Afrika.
Salah satu penggerak ekonomi tradisional rakyatnya terdapat system Paron Sapi (ngowan) tetapi di Madura tidak sama dengan sistim bagi hasil sapi (ternak) di daerah lain. Selain ruwet, karena sapi memiliki nilai ekonomi dan social yang tinggi di masyarakat sana juga resiko pencurian, santet sapi, dan jenis kejahatan lainnya. Sepasang sapi di Pulau Madura dapat mencapai harga 100 juta rupiah. Ngowan ada 2 macam, pertama (ngowan) paron buduk; kedua paron ontong keduanya juga melibatkan hubungan dengan pihak lainnya lagi, yaitu: (tokang) tk. ngebir, tk. ngobing atau tk. tonton dan berakhir di tokang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kebudayaan sendiri oleh Selo Soemardjan dan Soeleman Somardi diartikan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. Dan antropolog E.B Taylor (1871) pernah mendefinisikan kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Emic sendiri berarti keunikan budaya yang khas dimiliki suatu daerah yang merupakan titik pandang studi perilaku dari dalam system budaya tersebut. Dan definisi sederhananya adalah aspek kehidupan yang muncul hanya pada satu budaya tertentu.
BAB III
PEMBAHASAN
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan kerbau.
Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi Polay adalah dengan menggunakan sapi. Lama-kelamaan, karena banyaknya para petani yang menggunakan tenaga sapi untuk menggarap sawahnya secara bersamaan, maka timbullah niat mereka untuk saling berlomba dalam menyelesaikannya. Dan, akhirnya perlombaan untuk menggarap sawah itu menjadi semacam olahraga lomba adu cepat yang disebut kerapan sapi.
Versi lainnya mengatakan bahwa Karapan Sapi merupakan kesenian yang pada mulanya berasal dari Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep atas prakarsa dari Pangeran Katandur pada akhir abad 13.
Awalnya ingin memanfaatkan tenaga memanfaatkan tenaga sapi sebagai pengolah sawah. Brangkat dari ketekunan bagaimana cara membajak sapinya bekerja ,mengolah tanah persawahan, ternyata berhasil dan tanah tandus pun berubah menjadi tanah subur.
Melihat gagasan bagus dan membawa hasil positif, tentu saja warga masyarakat desa mengikuti jejak Pangerannya. Akhirnya tanah di seluruh Pulau Sapudi yang semula gersang, menjadi tanah subur yang bisa ditanami padi. Hasil panenpun berlimpah ruah dan jadilah daerah yang subur makmur.
Karena Pangeran Ketandur tidak pernah diam, ada saja yang ingin dilakukan untuk memajukan warga masyarakatnya. Setiap hari ia melihat sapi-sapi itu tenaganya hanya dimanfaatkan membajak sawah, sesudahnya berdiam diri dikandangnya. Melihat keadaan itulah, maka Pangeran Ketandur lalu mengajak warga di desanya untuk mengadakan balapan sapi. Areal tanah sawah yang sudah dipanen dimanfaatkan untuk areal balapan sapi. Akhirnya tradisi balapan sapi gagasan Pangeran Ketandur itulah yang hingga kini terus berkembang dan dijaga kelestariannya. Hanya namanya diganti lebih populer dengan "Kerapan Sapi".
Macam-macam Kerapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih. Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.
2. Kerap Raja (kerapan besar)
Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter dan pesertanya adalah para juara kerap keni.
3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar tertentu.
4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapi-sapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.
Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Kerapan Sapi
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah: (1) pemilik sapi pacuan; (2) tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas kaleles); (3) tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas); (4) tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat); (5) tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi); dan (6) tukang gubra (anggora rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapi pacuan).
Jalannya Permainan
Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi, juga merupakan arena pamer keindahan pakaian dan hiasan dari sapi-sapi yang akan dilombakan. Setelah parade selesai, pakaian dan seluruh hiasan itu mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.
Setelah itu, dimulailah lomba pertama untuk menentukan klasemen peserta. Seperti dalam permainan sepak bola, dalam babak ini para peserta akan mengatur strategi untuk dapat memasukkan sapi-sapi pacuannya ke dalam kelompok “papan atas” agar pada babak selanjutnya (penyisihan), dapat berlomba dengan sapi pacuan dari kelompok “papan bawah”.
Selanjutnya adalah babak penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam babak penyisihan ini, permainan memakai sistem gugur. Dengan perkataan lain, sapi-sapi pacuan yang sudah dinyatakan kalah, tidak berhak lagi ikut dalam pertandingan babak selanjutnya. Sedangkan, bagi sapi pacuan yang dinyatakan sebagai pemenang, nantinya akan berhadapan lagi dengan pemenang dari pertandingan lainnya. Begitu seterusnya hingga tinggal satu pemain terakhir yang selalu menang dan menjadi juaranya.
Nilai budaya
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban dan sportivitas.
Nilai kerja keras tercermin dalam proses pelatihan sapi, sehingga menjadi seekor sapi pacuan yang mengagumkan (kuat dan tangkas). Untuk menjadikan seekor sapi seperti itu tentunya diperlukan kesabaran, ketekunan dan kerja keras. Tanpa itu mustahil seekor sapi aduan dapat menunjukkan kehebatannya di arena kerapan sapi.
Nilai kerja sama tercermin dalam proses permainan itu sendiri. Permainan kerapan sapi, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak itu satu dengan lainnya saling membutuhkan. Untuk itu, diperlukan kerja sama sesuai dengan kedudukan dan peranan masing-masing. Tanpa itu mustahil permainan kerapan sapi dapat terselenggara dengan baik.
Nilai persaingan tercermin dalam arena kerapan sapi. Persaingan menurut Koentjaraningrat (2003: 187) adalah usaha-usaha yang bertujuan untuk melebihi usaha orang lain dalam masyarakat. Dalam konteks ini para peserta permainan kerapan sapi berusaha sedemikian rupa agar sapi aduannya dapat berlari cepat dan mengalahkan sapi pacuan lawan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, masing-masing berusaha agar sapinya dapat melakukan hal itu sebaik-baiknya. Jadi, antarpeserta bersaing dalam hal ini.
Nilai ketertiban tercermin dalam proses permainan kerapan sapi itu sendiri. Permainan apa saja, termasuk kerapan sapi, ketertiban selalu diperlukan. Ketertiban ini tidak hanya ditunjukkan oleh para peserta, tetapi juga penonton yang mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat. Dengan sabar para peserta menunggu giliran sapi-sapi pacuannya untuk diperlagakan. Sementara, penonton juga mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka tidak membuat keonaran atau perbuatan-perbuatan yang pada gilirannya dapat mengganggu atau menggagalkan jalannya permainan.
Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada.
BAB IV
KESIMPULAN
Semakin pesatnya pertumbuhan media belakangan ini membuat Karapan Sapi kurang di ekspos sebagai kebudayaan unik yang ada di Madura. Sudah semestinya kita warga Indonesia berapresiasi penuh terhadap keunikan budaya ini. Mengingat asal – usul lahirnya Karapan Sapi sebagai tanda usai panen di kalangan masyarakat Madura atau bias dikatakan pesrta rakyat khas Madura.
Dengan adanya kekhasan budaya ini semakin menunjukkan budaya Indonesia yang memang beranearagam, dan kebudayaan ini juga mempunyai nila budaya kebersamaan dan sportifitas, seperti halnya filosofi yang pernah kita dengan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu.
Daftar Pustaka
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Grafindo Persada
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta
http://obyek-wisata-kerapan-sapi-madura.html
http://kebudayaan-madura.html
http://www.my-indonesia.info/
Lampiran
Kerap Raja (Kerapan Besar)
Kerapan besar ini disebut juga kerap negara, umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Ukuran lapangan 120 meter. Pesertanya adalah juara-juara kecamatan atau kewedanaan.
Kerap Onjangan (Kerapan Undangan)
Kerapan undangan adalah pacuan khusus yang diikuti oleh peserta yang diundang baik dari dalam kabupaten maupun luar kabupaten. Kerapan ini diadakan menurut waktu keperluan atau dalam acara peringatan hari-hari tertentu.
Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesdenan diadakan di kotaPamekasan pada hari Minggu, merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan latihan tidak tertentu harinya, bisa diadakan pada setiap hari selesai dengan keinginan pemilik atau pelatih sapi-kerap itu. Pesertanya adalah sapi lokal.
Persyaratan sapi-kerap tidaklah banyak, asalkan sapinya kuat dan diberi makanan yang cukup, dilatih lari, dipertandingkan dan diiringi dengan musik saronen. Konon beberapa pemilik sapi-kerap juga melengkapi kehebatan sapinya dengan menggunakan mantra-mantra serta sajian tertentu. Sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan dalam aturan sebuah lomba atau kerapan.
http://obyek-wisata-kerapan-sapi-madura.html
Budaya Karapan Sapi Madura
4/
5
Oleh
fuadi