Oleh Siti Rahmawati
Konflik
perdata di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan
data Mahkamah Agung tahun 2011, sengketa perkawinan mencapai 504 atau
75,22 persen, waris 20 persen, hibah 1, 79 persen, wakaf 0,30 persen,
dan istbat nikah 0,30 persen. Dari data tersebut sengketa perkawinan
menduduki jumlah terbanyak, hal ini didukung oleh hasil penelitian bahwa
konflik terbanyak terjadi dalam perkawinan. Oleh karena itu, manajemen
konflik yang tepat diperlukan dalam menjawab permasalahan ini. Resolusi
konflik yang tepat mengantarkan pada hubungan sukses sebaliknya resolusi
konflik yang gagal berakibat putusanya hubungan (Felicia Ohwovoriole:
2011).
Secara teoritis, penyelesaian konflik
atau sengketa dapat diperoleh dari dua proses, pertama proses litigasi
dalam pengadilan, kedua proses non-litigasi yang dilaksanakan di luar
pengadilan. Pada tataran praktik, non-litigasi dewasa ini diperankan
oleh lembaga-lembaga adat dengan hukum adatnya.
Terdapat
dua pandangan teoritis pihak yang bersengketa memilih menyelesaikan
sengketa melalui negosiasi adat (Hifdhotul Munawaroh: 2015). Pertama,
pandangan yang merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan, cara
penyelesaian melalui konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan
oleh masyarakat, karena pendekatan itu cocok dengan cara pandang
kehidupan masyarakat. Masyarakat mewarisi tradisi kebudayaan yang
menekankan nilai keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan. Kedua,
peradilan adat lebih mudah untuk diakses, cepat, murah dan fleksibel.
Selaras dengan itu, fokus peradilan adat berusaha melakukan rekonsiliasi
dalam menyelesaikan konflik atau sengketa (R.Udphzrun dan Kehinde A
Bolaji). Karena pentingnya nilai adat ini, sehingga Simon Fisher
mengaskan bahwa untuk menangani konflik secara efektif perlu memahami
nilai-nilai sosial, norma-norma, praktik-praktik yang dapat diterima
oleh pihak yang terlibat dalam situasi dan lembaga tertentu.
Eksistensi
lembaga adat sebagai media resolusi konflik telah dipraktikkan di
belahan dunia, termasuk di negara Islam. G.H Bousqet menemukan bahwa
Tunisia mengadopsi hukum adat dalam menyelesaikan kasus hak atas tanah
dan pengelolaan wakaf. Begitu juga di Libya melegalkan hukum adat
sebagai media rekonsiliasi dalam kasus pembunuhan suku Tibawi untuk
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, hal ini juga di praktikkan di
Afganistan, hukum adat digunakan dalam menyelesaikan kasus pada
daerah-daerah tertentu. Sedangkan di Indonesia menggunakan lembaga adat
sebagai media resolusi atas konflik pidana maupun perdata. Hal ini
terlihat pada masyarakat etnis dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa
pada wilayah masing-masing daerah. Penyelesaian konflik di daerah-daerah
masih disandarkan pada hukum adat. Hukum adat lahir sebagai warisan
interaksi masyarakat terdahulu (leluhur) yang berfungsi sebagi pranata
sosial dan masih dipraktikkan oleh masyarakat. Baik masyarakat yang
belum menerima Islam maupun masyarakat yang telah menerima Islam sebagai
kepercayaan dan penuntun dalam melaksanakan ibadah ritual masyarakat.
Masyarakat adat Aceh menggunakan lembaga adat gampong dalam menyelesaikan konflik perkawinan, masyarakat adat angkola di Medan mengenal istilah dalihannatolu yang memiliki wewenang masing-masing, terdiri dari mora (legislatif), anakboru (eksekutif) dan k-ahanggi
(yudikatif). Ketiga institusi tersebut berpadu dalam menyelesaikan
konflik-konflik termasuk konflik perkawinan, hal ini juga terjadi pada
masyarakat (bugis) yang berpegang pada konsep pangangderreng (undang-undang sosial) terdiri unsur adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat Islam). Pampawaadeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan, sementara pampawasaraq dipangku
kadi, imam, khatib, bilal dan doja (penjaga masjid) menangani persoalan
yang berhubungan dengan fiqih Islam (Ismail Suardi Wekke). Perpaduan
keduanya terlihat dalam penyelesaian kasus kesusilaan (malaweng)
di Sulawesi Selatan. Pada situasi yang sama, masyarakat adat Tolaki di
Sulawesi Tenggara mengunakan adat Tolaki dalam menyelesaikan sengketa.
Peran
adat tersebut jika dikaji lebih jauh sesungguhnya memberi gambaran
posisi adat (kultur) dalam menyelesaikan masalah (konflik), mendapat
porsi besar di masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan
bahwa peradilan adat memiliki falsafah yang dianggap lebih cocok dengan
masyarakat adat atau komunitas lokal. Norma-norma adat memiliki kekuatan
dalam membentuk pola prilaku masyarakat.
Perdamaian Persfektif Islam
Teori
perdamaian menurut Islam bermakna keadilan. Keadilan didasarkan atas
persamaan hak dan kesempatan bagi manusia untuk mencapai pemenuhan dan
mengatasi penindasan. Peneliti perdamaian Islam seperti Qamarul Huda
mengartikan perdamaian tidak hanya berhentinya perang, namun lebih
bermakna harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan, di mana
manusia mempertahankan hubungan yang sehat antara dirinya dengan
Tuhannya.
Perbedaan dan pertentangan dalam hubungan manusia merupakan natural law (hukum
alam), karena Allah menciptakan manusia dengan keragaman warna kulit,
ras, bahasa, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Namun
demikian, dinamika masyarakat Islam dapat dipersatukan setidaknya dengan
lima prinsip dasar.
Pertama, kesatuan (unity), memadukan keseluruhan aspek-aspek manusia, horizontal maupun vertikal. Kedua, keseimbangan (equilibrum),
menggambarkan dimensi horisontal ajaran Islam yang berhubungan pada
keseluruhan harmoni pada alam semesta. Ketiga, Kehendak bebas (ikhtiyar),
manusia diberikan kebebasan dalam melakukan transaksi atau perjanjian.
Keempat, pertanggungjawaban, untuk memenuhi keadilan dan kesatuan
diperlukan sikap tanggung jawab pada jiwa dan raga, person
dan keluarga, individu dan sosial, antara suatu mayarakat dengan
masyarakat lain. Kelima kebenaran (kebajikan dan kejujuran). Kebajikan
merupakan tindakan yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.
Prinsip-prinsip
tersebut menurut Alwi Syhab dapat dilaksanakan dengan sikap toleransi
dan pluralisme. Toleransi merupakan upaya menahan diri agar potensi
konflik dapat ditekan, sedangkan pluralisme dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kemajemukan, tidak menonjolkan keunggulan-keunggulan dan
merasa paling benar kepada pihak lain. Jika ajaran agama diletakan
dalam peta kebudayaan, krisis dan konflik yang bermula dari masalah
sosial, ekonomi politik maupun keagamaan dapat diuraikan jalan
penyelesaiannya. Hal ini senada dengan makna jihad dalam tubuh spiritual
Islam, yakni pertempuran batin, melawan kejahatan fikiran dan keinginan
terhadap konflik. Dengan demikian, dalam teori perdamaian Islam,
konflik dapat diselesaikan jika difokuskan pada moralitas, pluralisme
budaya, solidaritas komunal, keadilan sosial dan iman (Uzma Rehman:
2016).
Islam bersifat universal dan
mengakomodasi praktik-praktik empiris di masyarakat. Prakatik empiris
masyarakat terdiri dari prilaku (model for) menjadi refleksi (model of) dari sistem kepercayaan (system of beliefe), maka ketika terjadi konflik harus kembali pada nilai-nilai primordialistik yang menjadi sistem kepercayaan (system of beliefe). Contohnya, masyarakat Madura mengenal istilah carok dalam membela kehormatan, masyarakat berpegang pada falsafah (ango’a poteya tolang atembang poteya mata)
dari pada hidup menanggung malu lebih baik mati membela kehormatan.
Jika terjadi konflik terkait kehormatan, maka resolusi konflik yang
tepat harus kembali pada nilai-nilai primordialistik masyarakat madura
(Thoha Hamim: 2007). Bagi masyarakat adat, penyelesaian konflik secara
kekeluargaan merupakan pilahan yang tepat, penyelesaian konflik atau
sengketa melalui adat dilaksanakan dengan tujuan mendamaikan kedua bela
pihak, masyarakat lebih patuh dan memahami arti dan makna-makna adat
dalam kehidupannya.
Adat memiliki sinkronisasi
dengan agama Islam, Islam secara terminologis bermakna penyerahan diri,
perdamaian dan keselamatan. Oleh karena itu, Islam tidak hanya sebuah
agama tetapi ia juga terwujud sebagai sebuah peradaban (civilicatioan).
Perdebatan Teoritik; Peran Adat dan Agama sebagai Pranata Sosial
Peran
dan keberhasilan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa di
masyarakat menunjukkan efektifitas dari mekanisme-mekansime pengaturan
masyarakat (self regulation) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).
Kendati demikian, mengkaji penerapan adat di Indonesia seiring
berkembangnya Islam menghasilkan pemikiran yang beragam. Teori receptie yang
dicetuskan oleh Cornelis Van Vallenhoven menganggap bahwa hukum adat
berlaku setelah diresepsi atau diterima oleh hukum adat. Sedangkan
Sayyed Husein Nasr mengatakan bahwa pada tataran teori, syariah (divine law) datang
untuk mengatur dan menuntun masyarakat bukan sebaliknya. Manusia tidak
berubah secara hakiki, meskipun terdapat perbedaan dari masa Muhammad,
naik turunya tetap sama karena itu formulasi syariah tidak membutuhkan
pengembangan.
Sayyed Hossein Naser hendak
menegaskan kembali bahwa agama berfungsi sebagai sistem nilai yang
memuat norma tertentu. Norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang
dianutnya. Pranata sosial masyarakat bagaimana pun bentuknya harus
kembali kepada hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu.
Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan yang berbeda, bahwa adat-istiadat adalah seni hidup (the art of living),
mengandung tatanan masyarakat yang patut dipertahankan, masuknya Islam
di Indonesia melalui adat dan budaya bukan melalui ekspansi sebagaimana
di dunia Arab. Adat istiadat adalah unsur utama sebuah pergaulan sosial,
sebuah masyarakat betapa pun sederhananya memiliki nilai-nilai dan
norma-norma, norma tersebut terwujud dalam praktik sosial masyarakat.
Melihat pergulatan pemikiran-peikiran tersebut, kiranya perlu mengulas
kembali, bahwa sejak awal perkembangan Islam sebagai konspesi realitas
telah menerima akomodasi sosio-kultural. Meski pada sisi teoritis
doktrin Islam seolah berbeda dengan realitas, namun dalam aplikasinya
Islam mengakomodasi kenyataan sosial budaya, sebagaimana ahli fiqih
mempertibangkan faktor-faktor sosial dalam penetapan hukum pada periode
awal Islam.
Kondisi sosial yang diperhadapkan
dengan Islam akhirnya menghasilkan apa yang disebut oleh Azyumradi Azra
sebagai “varian Islam”, maksudnya Islam dengan berbagai corak dan
jenisnya. Terkait dengan itu, asumsi mengenai dogma dan realitas
masyarakat yang dipandang sebagai konflik harus diarahkan pada sikap
moderat dan toleransi terhadap kondisi dan realitas masyarakat yang
terus berkembang.
Masyarakat sebagai pelaku
budaya tidak hanya mempertahankan aspek budaya yang pernah dicapai
dengan segala dimensinya, namun harus berusaha menghidupkan Islam dengan
nilai-nilai ajarannya ke dalam budaya tersebut. Islam universal dan
dinamis, tetap memberikan ruang yang cukup pada perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru lainnya. Inilah yang
dimaksud “moderenizing society”, yakni masyarakat yang mulai mengatur masa depannya, tetapi belum meninggalkan masa lalunya.
Pemikiran
ini juga terpancar pada pemahaman terhadap agama, ada yang memandang
bahwa agama adalah alat konservatis dan mempertahankan tradisi ada pula
yang berpandangan secara aplogetik bahwa agama adalah pendorong
kemajuan. Hooker menjelaskan bahwa Islam mempunyai nilai akomodatif
terhadap pranata sosial seperti hukum adat tidak saling menyisihkan dan
berlaku sejajar pada masyarakat adat Indonesia. Bahkan Syaukani
menjelaskan dalam teori interdependensi bahwa semua sistem hukum tidak
berdiri sendiri, pembentukannya selalu berinteraksi dengan sistem hukum
lainnya.
Lebih jauh, Jalal al-Din ‘Abd Al-Rahman menjelaskan bahwa adat (‘urf) mempunyai tempat dalam hukum Islam sebagai sumber pengambilan hukum selama tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits. ‘urf atau ‘adah dapat
dihubungkan dengan term hadits dan sunah (tradisi nabi), para ahli
hukum Islam memegang prinsip umum bahwa suatu yang dikatakan, diperbuat
atau ditetapkan oleh nabi akan membentuk apa yang dikenal dengan sunah,
sumber kedua setelah Al-Qur’an. Jadi ‘adah pada
masa nabi dapat dipandang sebagai suatu sumber untuk menformulasikan
hukum-hukum. Hakikatnya norma-norma agama itu tidak mempunyai korelasi
dengan modornisasi maupun tradisionalisme sebab agama mempunyai dimensi
yang tidak selalu dapat diukur dengan dimensi modernisasi maupun
tradisionalisme.
Sebuah Refleksi
Berdasarkan
teori-teori yang telah di paparkan, penulis berasumsi bahwa tedapat
relevansi antara hukum adat sebagai media resolusi konflik dengan hukum
Islam. Nilai-nilai Islam dan hukum adat mengajarkan manusia untuk hidup
rukun, menjunjung tinggi nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan.
Konflik dalam skala yang besar atau dalam skala yang kecil diselesaikan
melalui rekonsiliasi (islah).
Konflik
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial. Masyarakat adat berpegang kepada hukum adat
sebagai alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial. Meski
ilmuwan mazhab struktural beranggapan bahwa adat (culture)
berperan sebatas pemicu konflik, sebab masyarakat dengan tingkat
heterogenitas yang tinggi bisa hidup berdampingan sepanjang diikat oleh
manajemen konflik yang baik. Oleh karenanya penyelesaian konflik harus
diarahkan pada perbaikan struktur sosial bukan pada adat.
Praktik
masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik mempunyai relevansi dengan
nilai-nilai Islam ketika bersentuhan dengan hukum adat, khusunya
mengenai penyelesaian konflik. Lebih jauh, gambaran yang kongkrit
keterkaitan antara pranata sosial masyarakat dengan agama dipahami dari
tulisan Clifford Geertz mengenai kelompok masyarakat abangan, santri dan
priyayi. Meski kemudian Mark Woodward mengkritisi Clifford Geertz bahwa
ada kesalahpahaman serius dalam melihat Islam Jawa, namun perbedaan
pandangan tidak menjadi soal dalam tulisan ini, kedua penelitian
tersebut jelas menunjukkan bahwa agama dan masyarakat mempunyai kaitan
yang erat dalam praktik sosial.
Peradaban
Islam telah menyumbangkan aset berharga bagi pengembangan tradisi
ilmiah. Banyak buku ditulis, disadur dan diterjemahkan melalui
kreativitas ilmuan Muslim. Namun dalam beberapa abad terakhir Islam
secara teriotik sangat komprehensip namun dianggap lemah ketika
dihadapkan dengan realitas masyarakat. Hal ini tidak lain disebabkan
oleh pemahaman dalam menginterpretasikan wujud Islam. Islam lahir dengan
sifatanya yang dinamis dan mengakomodir praktik sosial masyarakat yang
mengandung norma dan pranata.
Penulis adalah Finalis Kompetisi Penulisan Esai, International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) PBNU
Oleh Siti Rahmawati
Konflik
perdata di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan
data Mahkamah Agung tahun 2011, sengketa perkawinan mencapai 504 atau
75,22 persen, waris 20 persen, hibah 1, 79 persen, wakaf 0,30 persen,
dan istbat nikah 0,30 persen. Dari data tersebut sengketa perkawinan
menduduki jumlah terbanyak, hal ini didukung oleh hasil penelitian bahwa
konflik terbanyak terjadi dalam perkawinan. Oleh karena itu, manajemen
konflik yang tepat diperlukan dalam menjawab permasalahan ini. Resolusi
konflik yang tepat mengantarkan pada hubungan sukses sebaliknya resolusi
konflik yang gagal berakibat putusanya hubungan (Felicia Ohwovoriole:
2011).
Secara teoritis, penyelesaian konflik
atau sengketa dapat diperoleh dari dua proses, pertama proses litigasi
dalam pengadilan, kedua proses non-litigasi yang dilaksanakan di luar
pengadilan. Pada tataran praktik, non-litigasi dewasa ini diperankan
oleh lembaga-lembaga adat dengan hukum adatnya.
Terdapat
dua pandangan teoritis pihak yang bersengketa memilih menyelesaikan
sengketa melalui negosiasi adat (Hifdhotul Munawaroh: 2015). Pertama,
pandangan yang merujuk pada kebudayaan sebagai faktor dominan, cara
penyelesaian melalui konsensus atau mufakat dapat diterima dan digunakan
oleh masyarakat, karena pendekatan itu cocok dengan cara pandang
kehidupan masyarakat. Masyarakat mewarisi tradisi kebudayaan yang
menekankan nilai keharmonisan dan kebersamaan dalam kehidupan. Kedua,
peradilan adat lebih mudah untuk diakses, cepat, murah dan fleksibel.
Selaras dengan itu, fokus peradilan adat berusaha melakukan rekonsiliasi
dalam menyelesaikan konflik atau sengketa (R.Udphzrun dan Kehinde A
Bolaji). Karena pentingnya nilai adat ini, sehingga Simon Fisher
mengaskan bahwa untuk menangani konflik secara efektif perlu memahami
nilai-nilai sosial, norma-norma, praktik-praktik yang dapat diterima
oleh pihak yang terlibat dalam situasi dan lembaga tertentu.
Eksistensi
lembaga adat sebagai media resolusi konflik telah dipraktikkan di
belahan dunia, termasuk di negara Islam. G.H Bousqet menemukan bahwa
Tunisia mengadopsi hukum adat dalam menyelesaikan kasus hak atas tanah
dan pengelolaan wakaf. Begitu juga di Libya melegalkan hukum adat
sebagai media rekonsiliasi dalam kasus pembunuhan suku Tibawi untuk
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, hal ini juga di praktikkan di
Afganistan, hukum adat digunakan dalam menyelesaikan kasus pada
daerah-daerah tertentu. Sedangkan di Indonesia menggunakan lembaga adat
sebagai media resolusi atas konflik pidana maupun perdata. Hal ini
terlihat pada masyarakat etnis dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa
pada wilayah masing-masing daerah. Penyelesaian konflik di daerah-daerah
masih disandarkan pada hukum adat. Hukum adat lahir sebagai warisan
interaksi masyarakat terdahulu (leluhur) yang berfungsi sebagi pranata
sosial dan masih dipraktikkan oleh masyarakat. Baik masyarakat yang
belum menerima Islam maupun masyarakat yang telah menerima Islam sebagai
kepercayaan dan penuntun dalam melaksanakan ibadah ritual masyarakat.
Masyarakat adat Aceh menggunakan lembaga adat gampong dalam menyelesaikan konflik perkawinan, masyarakat adat angkola di Medan mengenal istilah dalihannatolu yang memiliki wewenang masing-masing, terdiri dari mora (legislatif), anakboru (eksekutif) dan k-ahanggi
(yudikatif). Ketiga institusi tersebut berpadu dalam menyelesaikan
konflik-konflik termasuk konflik perkawinan, hal ini juga terjadi pada
masyarakat (bugis) yang berpegang pada konsep pangangderreng (undang-undang sosial) terdiri unsur adeq (adat-istiadat) dan saraq (syariat Islam). Pampawaadeq dipangku raja sekaligus mengatur roda pemerintahan, sementara pampawasaraq dipangku
kadi, imam, khatib, bilal dan doja (penjaga masjid) menangani persoalan
yang berhubungan dengan fiqih Islam (Ismail Suardi Wekke). Perpaduan
keduanya terlihat dalam penyelesaian kasus kesusilaan (malaweng)
di Sulawesi Selatan. Pada situasi yang sama, masyarakat adat Tolaki di
Sulawesi Tenggara mengunakan adat Tolaki dalam menyelesaikan sengketa.
Peran
adat tersebut jika dikaji lebih jauh sesungguhnya memberi gambaran
posisi adat (kultur) dalam menyelesaikan masalah (konflik), mendapat
porsi besar di masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari pandangan
bahwa peradilan adat memiliki falsafah yang dianggap lebih cocok dengan
masyarakat adat atau komunitas lokal. Norma-norma adat memiliki kekuatan
dalam membentuk pola prilaku masyarakat.
Perdamaian Persfektif Islam
Teori
perdamaian menurut Islam bermakna keadilan. Keadilan didasarkan atas
persamaan hak dan kesempatan bagi manusia untuk mencapai pemenuhan dan
mengatasi penindasan. Peneliti perdamaian Islam seperti Qamarul Huda
mengartikan perdamaian tidak hanya berhentinya perang, namun lebih
bermakna harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan, di mana
manusia mempertahankan hubungan yang sehat antara dirinya dengan
Tuhannya.
Perbedaan dan pertentangan dalam hubungan manusia merupakan natural law (hukum
alam), karena Allah menciptakan manusia dengan keragaman warna kulit,
ras, bahasa, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Namun
demikian, dinamika masyarakat Islam dapat dipersatukan setidaknya dengan
lima prinsip dasar.
Pertama, kesatuan (unity), memadukan keseluruhan aspek-aspek manusia, horizontal maupun vertikal. Kedua, keseimbangan (equilibrum),
menggambarkan dimensi horisontal ajaran Islam yang berhubungan pada
keseluruhan harmoni pada alam semesta. Ketiga, Kehendak bebas (ikhtiyar),
manusia diberikan kebebasan dalam melakukan transaksi atau perjanjian.
Keempat, pertanggungjawaban, untuk memenuhi keadilan dan kesatuan
diperlukan sikap tanggung jawab pada jiwa dan raga, person
dan keluarga, individu dan sosial, antara suatu mayarakat dengan
masyarakat lain. Kelima kebenaran (kebajikan dan kejujuran). Kebajikan
merupakan tindakan yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.
Prinsip-prinsip
tersebut menurut Alwi Syhab dapat dilaksanakan dengan sikap toleransi
dan pluralisme. Toleransi merupakan upaya menahan diri agar potensi
konflik dapat ditekan, sedangkan pluralisme dimaksud adalah keterlibatan
aktif terhadap kemajemukan, tidak menonjolkan keunggulan-keunggulan dan
merasa paling benar kepada pihak lain. Jika ajaran agama diletakan
dalam peta kebudayaan, krisis dan konflik yang bermula dari masalah
sosial, ekonomi politik maupun keagamaan dapat diuraikan jalan
penyelesaiannya. Hal ini senada dengan makna jihad dalam tubuh spiritual
Islam, yakni pertempuran batin, melawan kejahatan fikiran dan keinginan
terhadap konflik. Dengan demikian, dalam teori perdamaian Islam,
konflik dapat diselesaikan jika difokuskan pada moralitas, pluralisme
budaya, solidaritas komunal, keadilan sosial dan iman (Uzma Rehman:
2016).
Islam bersifat universal dan
mengakomodasi praktik-praktik empiris di masyarakat. Prakatik empiris
masyarakat terdiri dari prilaku (model for) menjadi refleksi (model of) dari sistem kepercayaan (system of beliefe), maka ketika terjadi konflik harus kembali pada nilai-nilai primordialistik yang menjadi sistem kepercayaan (system of beliefe). Contohnya, masyarakat Madura mengenal istilah carok dalam membela kehormatan, masyarakat berpegang pada falsafah (ango’a poteya tolang atembang poteya mata)
dari pada hidup menanggung malu lebih baik mati membela kehormatan.
Jika terjadi konflik terkait kehormatan, maka resolusi konflik yang
tepat harus kembali pada nilai-nilai primordialistik masyarakat madura
(Thoha Hamim: 2007). Bagi masyarakat adat, penyelesaian konflik secara
kekeluargaan merupakan pilahan yang tepat, penyelesaian konflik atau
sengketa melalui adat dilaksanakan dengan tujuan mendamaikan kedua bela
pihak, masyarakat lebih patuh dan memahami arti dan makna-makna adat
dalam kehidupannya.
Adat memiliki sinkronisasi
dengan agama Islam, Islam secara terminologis bermakna penyerahan diri,
perdamaian dan keselamatan. Oleh karena itu, Islam tidak hanya sebuah
agama tetapi ia juga terwujud sebagai sebuah peradaban (civilicatioan).
Perdebatan Teoritik; Peran Adat dan Agama sebagai Pranata Sosial
Peran
dan keberhasilan lembaga adat dalam menyelesaikan sengketa di
masyarakat menunjukkan efektifitas dari mekanisme-mekansime pengaturan
masyarakat (self regulation) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).
Kendati demikian, mengkaji penerapan adat di Indonesia seiring
berkembangnya Islam menghasilkan pemikiran yang beragam. Teori receptie yang
dicetuskan oleh Cornelis Van Vallenhoven menganggap bahwa hukum adat
berlaku setelah diresepsi atau diterima oleh hukum adat. Sedangkan
Sayyed Husein Nasr mengatakan bahwa pada tataran teori, syariah (divine law) datang
untuk mengatur dan menuntun masyarakat bukan sebaliknya. Manusia tidak
berubah secara hakiki, meskipun terdapat perbedaan dari masa Muhammad,
naik turunya tetap sama karena itu formulasi syariah tidak membutuhkan
pengembangan.
Sayyed Hossein Naser hendak
menegaskan kembali bahwa agama berfungsi sebagai sistem nilai yang
memuat norma tertentu. Norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam
bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang
dianutnya. Pranata sosial masyarakat bagaimana pun bentuknya harus
kembali kepada hasil ijtihad ulama-ulama terdahulu.
Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan yang berbeda, bahwa adat-istiadat adalah seni hidup (the art of living),
mengandung tatanan masyarakat yang patut dipertahankan, masuknya Islam
di Indonesia melalui adat dan budaya bukan melalui ekspansi sebagaimana
di dunia Arab. Adat istiadat adalah unsur utama sebuah pergaulan sosial,
sebuah masyarakat betapa pun sederhananya memiliki nilai-nilai dan
norma-norma, norma tersebut terwujud dalam praktik sosial masyarakat.
Melihat pergulatan pemikiran-peikiran tersebut, kiranya perlu mengulas
kembali, bahwa sejak awal perkembangan Islam sebagai konspesi realitas
telah menerima akomodasi sosio-kultural. Meski pada sisi teoritis
doktrin Islam seolah berbeda dengan realitas, namun dalam aplikasinya
Islam mengakomodasi kenyataan sosial budaya, sebagaimana ahli fiqih
mempertibangkan faktor-faktor sosial dalam penetapan hukum pada periode
awal Islam.
Kondisi sosial yang diperhadapkan
dengan Islam akhirnya menghasilkan apa yang disebut oleh Azyumradi Azra
sebagai “varian Islam”, maksudnya Islam dengan berbagai corak dan
jenisnya. Terkait dengan itu, asumsi mengenai dogma dan realitas
masyarakat yang dipandang sebagai konflik harus diarahkan pada sikap
moderat dan toleransi terhadap kondisi dan realitas masyarakat yang
terus berkembang.
Masyarakat sebagai pelaku
budaya tidak hanya mempertahankan aspek budaya yang pernah dicapai
dengan segala dimensinya, namun harus berusaha menghidupkan Islam dengan
nilai-nilai ajarannya ke dalam budaya tersebut. Islam universal dan
dinamis, tetap memberikan ruang yang cukup pada perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan penemuan-penemuan baru lainnya. Inilah yang
dimaksud “moderenizing society”, yakni masyarakat yang mulai mengatur masa depannya, tetapi belum meninggalkan masa lalunya.
Pemikiran
ini juga terpancar pada pemahaman terhadap agama, ada yang memandang
bahwa agama adalah alat konservatis dan mempertahankan tradisi ada pula
yang berpandangan secara aplogetik bahwa agama adalah pendorong
kemajuan. Hooker menjelaskan bahwa Islam mempunyai nilai akomodatif
terhadap pranata sosial seperti hukum adat tidak saling menyisihkan dan
berlaku sejajar pada masyarakat adat Indonesia. Bahkan Syaukani
menjelaskan dalam teori interdependensi bahwa semua sistem hukum tidak
berdiri sendiri, pembentukannya selalu berinteraksi dengan sistem hukum
lainnya.
Lebih jauh, Jalal al-Din ‘Abd Al-Rahman menjelaskan bahwa adat (‘urf) mempunyai tempat dalam hukum Islam sebagai sumber pengambilan hukum selama tidak bertentangan Al-Qur’an dan Hadits. ‘urf atau ‘adah dapat
dihubungkan dengan term hadits dan sunah (tradisi nabi), para ahli
hukum Islam memegang prinsip umum bahwa suatu yang dikatakan, diperbuat
atau ditetapkan oleh nabi akan membentuk apa yang dikenal dengan sunah,
sumber kedua setelah Al-Qur’an. Jadi ‘adah pada
masa nabi dapat dipandang sebagai suatu sumber untuk menformulasikan
hukum-hukum. Hakikatnya norma-norma agama itu tidak mempunyai korelasi
dengan modornisasi maupun tradisionalisme sebab agama mempunyai dimensi
yang tidak selalu dapat diukur dengan dimensi modernisasi maupun
tradisionalisme.
Sebuah Refleksi
Berdasarkan
teori-teori yang telah di paparkan, penulis berasumsi bahwa tedapat
relevansi antara hukum adat sebagai media resolusi konflik dengan hukum
Islam. Nilai-nilai Islam dan hukum adat mengajarkan manusia untuk hidup
rukun, menjunjung tinggi nilai persaudaraan, persatuan dan kesatuan.
Konflik dalam skala yang besar atau dalam skala yang kecil diselesaikan
melalui rekonsiliasi (islah).
Konflik
tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial. Masyarakat adat berpegang kepada hukum adat
sebagai alat pemersatu untuk pertentangan konseptual dan sosial. Meski
ilmuwan mazhab struktural beranggapan bahwa adat (culture)
berperan sebatas pemicu konflik, sebab masyarakat dengan tingkat
heterogenitas yang tinggi bisa hidup berdampingan sepanjang diikat oleh
manajemen konflik yang baik. Oleh karenanya penyelesaian konflik harus
diarahkan pada perbaikan struktur sosial bukan pada adat.
Praktik
masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik mempunyai relevansi dengan
nilai-nilai Islam ketika bersentuhan dengan hukum adat, khusunya
mengenai penyelesaian konflik. Lebih jauh, gambaran yang kongkrit
keterkaitan antara pranata sosial masyarakat dengan agama dipahami dari
tulisan Clifford Geertz mengenai kelompok masyarakat abangan, santri dan
priyayi. Meski kemudian Mark Woodward mengkritisi Clifford Geertz bahwa
ada kesalahpahaman serius dalam melihat Islam Jawa, namun perbedaan
pandangan tidak menjadi soal dalam tulisan ini, kedua penelitian
tersebut jelas menunjukkan bahwa agama dan masyarakat mempunyai kaitan
yang erat dalam praktik sosial.
Peradaban
Islam telah menyumbangkan aset berharga bagi pengembangan tradisi
ilmiah. Banyak buku ditulis, disadur dan diterjemahkan melalui
kreativitas ilmuan Muslim. Namun dalam beberapa abad terakhir Islam
secara teriotik sangat komprehensip namun dianggap lemah ketika
dihadapkan dengan realitas masyarakat. Hal ini tidak lain disebabkan
oleh pemahaman dalam menginterpretasikan wujud Islam. Islam lahir dengan
sifatanya yang dinamis dan mengakomodir praktik sosial masyarakat yang
mengandung norma dan pranata.
http://www.nu.or.id/post/read/67837/kajian-penerapan-adat-pada-masyarakat-muslim-indonesia
Kajian Penerapan Adat pada Masyarakat Muslim Indonesia
4/
5
Oleh
fuadi