Saturday, April 16, 2016

DIMENSI BUDAYA

1.      Posisi dan Peran Sosial
Posisi mengindikasikan di mana seorang berada dalam sebuah ruangan seseorang dapat menempati posisi sebagai seorang anak, ayah, atau saudara sepupu (dalam space keluarga) ; seorang karyawan, manager, atau guru part-time (dalam space pekerjaan) ;sebagai sesepuh desa, ketua RT, atau ulama (dalam space kemasyarakatan).
 Sedangkan yang dimaksud peran sosial adalah seperangkat harapan terhadap seseorang yang menempati suatu posisi/status sosial.
2.      Norma dan Kontrol Sosial
Norma adalah standar perilaku yang diadakan untuk mengontrol perilaku anggota suatu kelompok. Norma sosial bervariasi dalam derajat pengaruhnya terhadap perilaku, semacam Folkways atau norma kesopanan, mores atau norma susila dan norma hukum.
Sedangkan yang dimaksud kontrol sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya kontrol sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.
3.      Struktur Sosial
Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Ciri – ciri struktur sosial antara lain :
a)        Bersifat abstrak
b)        Terdapat dimensi vertikal dan horizontal
c)        Sebagai landasan sebuah proses sosial suatu masyarakat
d)       Bagian dari sistem pengaturan tata kelakuan dan pola hubungan masyarakat
e)        Selalu berkembang dan dapat berkemban
4.      Sosialisasi dan Enkulturasi
Menurut Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses di mana anggota masyarakat baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana ia menjadi anggota. Di mana-mana, di berbagai kebudayaan, sosialisasi tampak berbeda-beda tetapi juga sama. Meskipun caranya berbeda, tujuannya sama, yaitu membentuk seorang manusia menjadi dewasa. Proses sosialisasi seorang inndividu berlangsung sejak kecil. Mula-mula mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu-individu lain dalam lingkungan terkecil (keluarga), kemudian dengan teman-teman sebaya atau sepermainan yang bertetangga dekat, dengan saudara sepupu, sekerabat, dan akhirnya dengan masyarakat luas.
Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat.
Adapun perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
5.      Ethic dan Emic
Ethic dan Emic sebenarnya merupakan istilah antropologi yang dikembangkan oleh pike (1967) dalam Segall (1990). Para psikolog yang berminat pada kajian lintas budaya lebih menggunakan istilah Ethic dan Emic sebagai aspek daripada titik pandang atau cara pendekatan. Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya. Emic menjelaskan universalitas sebuah konsep kehidupan sedangkan Emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep pada satu budaya (Matsumoto, 19996).
Pemahaman akan kedua konsep ini menjadi dasar dalam melakukan pemahaman budaya dan perbedaan budaya sekaligus dalam melakukan studi dan analisa penelitian psikologi lintas budaya. Sebuah perilaku dari manusia dan kita akui kebenarannya sebagai sebuah Ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku tersebut adalah universal termasuk dalma kebenarannya. Hasil penelitian yang dilakukan dapat digeneralisasikan dan dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya di manapun seting budaya dan penelitian tersebut dilakukan. Contoh penelitian ini adalah apa yang dilakukan Ekman mengenai ekspresi emosi dasar pada wajah (facial expression of emotion).
Sebaliknya, sebuah perilaku atau nilai yang ada hanya ditemukan pada satu budaya dan benar hanya pada budaya tersebut, dalam studi psikologi lintas budaya tersebut saja. Contohnya adalah ritual suku Indian Amerika untuk mengambil kulit kepala (scalp) dari musuhnya yang telah mati adalah satu perilaku Emic yang khas dan benar hanya pada budaya tersebut saja.
6.      Etnosentrisme dan Stereotipe
Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan.
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.


Artikel Terkait

DIMENSI BUDAYA
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email