Saturday, April 16, 2016

BUDAYA DAN KEPRIBADIAN MANUSIA

1.         Budaya dan Kepribadian Manusia
Kebudayaan berasal dari kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Kebudayaan tidak bisa dilihat atau dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala manusia. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil kebudayaan dapat dilihat dan dideteksi (dipantau) dengan panca indra manusia.
Menurut Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis. Kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) dan stablilitas serta konsistensi (stability and consistency). Semua definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Definisi tersebut diyakini dalam tradisi panjang oleh para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah barang tentu mempengaruhi kerja ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai dari psikoanalisa Freud, behavioral approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers meyakini bahwa kepribadian berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku universal. Dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
2.         Kepribadian dalam Lintas Budaya
Kepribadian merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi acuan dari pola pikir, perasaan dan perilaku individu manusia, serta bertindak sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut. Dimana merupakan aspek inti keberadaan manusia yang karena tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruk sosial.
Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam budaya dalam member definisi kepribadian. Dalam literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relative abadi (Matsumoto, 1996).
Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini yaitu : kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi (stability and consistency) (Phares, 1991).
Semua definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan iteraksi (Matsumoto, 1996).
Tokoh Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya meyakini bahwa kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan kebutuhan Maslow tersebut diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal, begitupun dengan apa yang dimaksud aktualisasi diri.
Budaya Timur (East Cultures) melihat kepribadian adalah kontekstual (contrxtualization). Kepribadian cenderung berubah, seberapapun besarnya, untuk menyesuaikan dengan konteks dan situasi (Matsumoto, 1996).
3.         Budaya dan Perrkembangannya
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.
Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
4.         Budaya dan Indigenous Personality
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality. Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.
Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam  bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia Jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai rasa.Rasa ini terbagi atas tiga,yaitu: rasa subjek, rasa objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu rasa hidup.
5.         Budaya dan Konsep Diri
Konsep diri adalah oganisasi dari persepsi-persepsi diri (Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan menilai diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas fisik, sifat, hingga prinsip.
Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu (hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya) pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self dan Interdependent Construal of Self.
a)      Diri Individual /Independent Construal of Self
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang tergantung (Independent Construal of Self).
Dalam kerangka  budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
b)      Diri Kolektif/ Interdependent Construal of Self.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Individu fokus pada status keterakitan mereka dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal. Antar satu individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif, derajatnya antar individu adalah tidak sama.


Artikel Terkait

BUDAYA DAN KEPRIBADIAN MANUSIA
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email