1.
Budaya
dan Kepribadian Manusia
Kebudayaan berasal dari
kata budh- budhi- budhaya dalam bahasa sansekerta yang berarti akal, sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Kebudayaan
tidak bisa dilihat atau dipegang karena berada di dalam pikiran atau kepala
manusia. Oleh karena itu, kebudayaan bersifat abstrak. Akan tetapi, hasil
kebudayaan dapat dilihat dan dideteksi (dipantau) dengan panca indra manusia.
Menurut
Roucek dan Warren, kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas
faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis. Kepribadian adalah
serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara
individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek
dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) dan stablilitas serta
konsistensi (stability and consistency). Semua definisi di atas menggambarkan
bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks,
situasi dan interaksi. Definisi tersebut diyakini dalam tradisi panjang oleh
para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah barang tentu mempengaruhi kerja
ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai dari psikoanalisa Freud, behavioral
approach Skinner, hingga humanistic Maslow-Rogers meyakini bahwa kepribadian
berlaku konsistan dan konsep-konsep mereka berlaku universal. Dalam budaya
timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur
melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian
bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada.
Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
2.
Kepribadian
dalam Lintas Budaya
Kepribadian
merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia.
Kepribadian mempengaruhi dan menjadi acuan dari pola pikir, perasaan dan
perilaku individu manusia, serta bertindak sebagai aspek fundamental dari
setiap individu tersebut. Dimana merupakan aspek inti keberadaan manusia yang
karena tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih besar, yaitu budaya sebagai
konstruk sosial.
Hal
pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah
perbedaan diantara beragam budaya dalam member definisi kepribadian. Dalam
literature-literatur psikologi Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan
sebagai karakter perilaku, karakter kognitif dan predisposisi yang relative
abadi (Matsumoto, 1996).
Definisi
lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran,
perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap individu dan cenderung
konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini
yaitu : kekhususan (distinctiveness), dan stabilitas serta konsistensi
(stability and consistency) (Phares, 1991).
Semua
definisi di atas menggambarkan bagaimana mereka mempercayai bahwa kepribadian
didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan
iteraksi (Matsumoto, 1996).
Tokoh
Humanistic salah satunya Maslow, dalam teorinya meyakini bahwa kepribadian
diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya adalah
keberhasilan dalam aktualisasi diri. Tahapan-tahapan kebutuhan Maslow tersebut
diyakini para pengagumnya adalah berlaku universal, begitupun dengan apa yang
dimaksud aktualisasi diri.
Budaya
Timur (East Cultures) melihat kepribadian adalah kontekstual
(contrxtualization). Kepribadian cenderung berubah, seberapapun besarnya, untuk
menyesuaikan dengan konteks dan situasi (Matsumoto, 1996).
3.
Budaya
dan Perrkembangannya
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam
arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut
sangat dipengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya.
Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet).
Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan
sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor
lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik
atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi
pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang
terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa
tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang
tinggal di panti asuhan.
Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi
pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang,
tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun,
dan locus of control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
4.
Budaya
dan Indigenous Personality
Berbagai persoalan mendasar yang muncul dalam kajian
kepribadian dapat ditinjau melalui lintas budaya, menggambarkan sebuah
pernyataan bahwa antar budaya yang berbeda sangat mungkin secara mendasar
memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya kepribadian itu. Suatu
kajian kepribadian yang bersifat lokal atau indigenous personality.
Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya
tertentu dan relevan hanya pada budaya tertentu tersebut.
Di Indonesia sendiri kajian mengenai indigenous personality
telah diawali oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam bukunya Psikologi
Jawa, Jatman menemukan adanya profil kepribadian manusia Jawa yang memandang
jiwanya adalah sebagai rasa.Rasa ini terbagi atas tiga,yaitu: rasa subjek, rasa
objek, dan rasa pertemuan subjek-objek. Ketiganya dilahirkan oleh rasa yaitu
rasa hidup.
5.
Budaya
dan Konsep Diri
Konsep diri adalah oganisasi dari persepsi-persepsi diri
(Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima dan menilai
diri kita sendiri. Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari identitas
fisik, sifat, hingga prinsip.
Berfikir mengenai bagaimana mempersepsi diri, dalam
percakapan awam, adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu
(hubungan dengan orang lain, etos kerja, atau sifat kepribadiannya misalnya)
pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan
sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya.
Dua kontinum yang sering dilakukan untuk mempermudah studi
mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah konstruk diri individual dengan
diri kolektif atau dalam bahasa Matsumoto disebut Independent Construal of Self
dan Interdependent Construal of Self.
a) Diri
Individual
/Independent Construal of Self
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal
yang sifatnya personal-kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian,dan
pilihan-pilihan individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan
lingkungan. Dalam istilah Matsumoto (1996) disebut konstruk diri yang
tergantung (Independent Construal of Self).
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan
dan perasaan akan harga diri mengambil bentuk khas individualisme. Ketika
individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya, tidak tergantung pada orang
lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan harga diri mereka meningkat
seiringnya. Keberhasilan individu adalah berkata usaha keras dari indiidu
tersebut, dan diri serta masyarakatnya sangat menghargai keberhasilannya karena
individu tersebut mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
b) Diri
Kolektif/
Interdependent Construal of Self.
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sangat khas
dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan
antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai
makro kosmos. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana individu
memenuhi dan memelihara katerikatannya dengan individu lain.Tugas normatif
depanjang sejarah adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain.
Individu fokus pada status keterakitan mereka dan
penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman
kesadaran adalah intersubjective, saling terhubung antar personal. Antar satu
individu dengan individu lain dalam budaya dengan diri kolektif, misalnya
memiliki derajat kekolektifitasan yang tidak sama. Bagaimana individu melihat
keberhasilannya, siapa yang menentukan, dan bagi siapa keberhasilannya
tersebut, apakah oleh dan untuk individu, ataukah oleh dan untuk kolektif,
derajatnya antar individu adalah tidak sama.
BUDAYA DAN KEPRIBADIAN MANUSIA
4/
5
Oleh
fuadi