Ia juga dipandang sebagai satu-satunya
pendiri NU yang saat itu belum memiliki pesantren. Nama Abdul Halim
selalu dikaitkan dengan Leuwimunding, untuk membedakan nama Abdul Halim
lain yang juga berasal dari daerah yang sama. Abdul Halim yang lain ini
adalah pendiri Persyarikatan Ulama yang berpusat di Majalengka.
Seorang alim dari Jawa Barat yang menjadi salah satu pendiri NU awal. Namanya terabadikan dalam dokumen kepengurusan NU. Setelah jam’iyyah ini didirikan pada 26 Januari 1926, menjabat sebagai Katib Tsani (Katib Awwal dijabat KHWahab Hasbullah). Selain dirinya, semua pengurus NU awal itu adalah tokoh-tokoh Jawa Tengah dan Jawa Timur (termasuk Madura).
Abdul Halim Leuwimunding sering
dikelirukan dengan Abdul Halim yang menjadi pendiri Persyarikatan Ulama
itu. Padahal, keduanya berbeda, meskipun sama-sama pernah ke Makkah dan
bahkan hingga saat ini dimajalengka Nama Abdul Halim yang jadi nama
jalan dikota hanya tokoh PUI saja.

Dari Makkah ke Tebuireng
Abdul Halim Leuwimunding dilahirkan pada
Juni 1898 dari pasangan Mbah Kedung Wangsagama dan Nyai Santamah. Para
buyutnya adalah tokoh-tokoh setempat, yaitu Buyut Kreteg, Buyut Liuh,
dan Buyut Kedung Kertagam. Setelah itu, Abdul Halim belajar mengaji di
Pesantren Trajaya Majalengka, kemudian meneruskan ke Pesantren
Kedungwuni, Majalengka, dan dilanjutkan di Pesantren Kempek, Cirebon.
Sebagaimana tokoh-tokoh di masanya yang
berkelana sampai Makkah untuk menuntut ilmu, Abdul Halim juga menempuh
hal yang sama. Ini dilakukan ketika ia baru berusia 16 tahun, yaitu pada
sekitar tahun 1914.
Sebelumnya dua pamannya telah berada di sana, yaitu H. Ali dan H. Jen. Di Makkah Abdul Halim bertemu dan berkawan baik dengan K.H.Abdul Wahab Hasbullah. Ia kemudian pulang ke tanah asalnya pada 1917, dan satu tahun kemudian ia mencari ilmu di pesantren yang ada di Jawa Timur.
Sebelumnya dua pamannya telah berada di sana, yaitu H. Ali dan H. Jen. Di Makkah Abdul Halim bertemu dan berkawan baik dengan K.H.Abdul Wahab Hasbullah. Ia kemudian pulang ke tanah asalnya pada 1917, dan satu tahun kemudian ia mencari ilmu di pesantren yang ada di Jawa Timur.
Abdul Halim memutuskan berangkat ke
Tebuireng, Jombang, yang saat itu diasuh oleh kiai yang sangat dihormati
di seluruh Jawa dan Madura yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Dengan demikian,
sejak awal Abdul Halim sudah memiliki jaringan dengan pendiri NU, baik
dengan K.H. Abdul Wahab maupun K.H. Hasyim Asy’ari. Abdul Halim kemudian
menjadi salah satu peserta diskusi-diskusi dalam perbincangan pendirian
NU, dan salah seorang yang hadir dalam pendirian NU pada 31 Januari
1926 atau 16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya. Ia sendiri kemudian
mendapat kehormatan untuk menjabat sebagai Katib Tsani dalam
kepengurusan NU awal itu.
Selama berguru kepada KH Wahab
Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi
perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan
merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan
menularkan kemampuan ilmiahnya.
Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat
dengan interaksi sosial keagamaan dalam Nahdlatul Wathan merupakan salah
satu sumbangsih KH Abdul halim. Bagi KH Abdul halim pendekatan sosial
kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan syariat bagi
kehidupan masyarakat menumpakan sebuah terobosan yang sangat urgen dalam
menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.
Abdul Halim juga memerintah dan
mengembangkan NU di Jawa Barat, khususnya sekitar Majalengka, bersama
kiai-kiai yang merintis NU di Jawa Barat, seperti K.H. Abbas dan
keluarga Pesantren Buntet, K.H. Mas Abdurrahman dan masih banyak lagi
yang lain.
Sebagai pendiri NU, Abdul Halim tidak
memiliki pesantren, tetapi atas saran K.H. Wahab Hasbullah yang bertemu
di Bandung pada 1954, kemudian Abdul Halim mendirikan pusat pendidikan.
Baru pada tahu 1963 ia mendirikan dan mengembangkan Madrasah Ibtidaiyyah
Nahdlatul Ulama (MI-NU) yang menjadi Madrsah Dinyah pertama di
Majalengka. Pada perkembangan selanjutnya, pendidikan ini bertambah
dengan Madrasah Tsanawiyah Leuwimunding di bawah payung Yayasan Sabilul
Halim.
Sosok yang Sederhana
Selama perjalanannya dalam mengembangkan
NU di Jawa barat, ia hanya berbekal dua sarung dan makanan seadanya.
Lalu, pada saat menjadi anggota DPR GR tak pernah sedikit pun memakai
uang atau fasilitas negara. Bahkan mushola dan mesjid menjadi tempat
istirahat di kala perjalanan menuju ibu kota Jakarta.
Tidak hanya berkiprah di dunia
pendidikan. Pada tahun 1955 KH Abdul Halim menjadi anggota DPR dari
partai NU dari perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul
halim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat
dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU
(Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.
Sang alim ini meninggal dunia pada 11
April 1972 dengan meninggalkan kenangan kesederhanaan hidup dan
kesahajaan disemayamkan di sekitar area Gedung MTs Sabilul Chalim
Leuwimunding. (Aris Prayuda/Anam)
*Dikutip dari buku “KH Abdul
Chalim Kenapa Harus Dilupakan?” karya J. Fikri Mubarok), dan wawancara
dengan Drs Arifin Muslim (Wakil Ketua PCNU Majalengka, 13 Januari 2015)
http://santri.net/sejarah/kisah-islami/kiai-abdul-halim-leuwimunding-dan-kesederhanaannya/
Kiai Abdul Halim Leuwimunding
4/
5
Oleh
fuadi